Minggu, 19 Desember 2010

SIGER dan ANYER

Selasa, 9 November 2010 | 06:12 WIB


Cerpen: Hilal Ahmad

Aku masih di sini. Di tepi pantai Kampung Bojong, di sudut utara Banten. Mercusuar berdiri kukuh menantang matahari mulai tergelincir di ufuk barat.

Dua jam sudah aku ditemani debur pantai pesisir Anyer, yang katanya sebagai Bali kedua. Tapi eksotisme pantai Anyer yang dikenal sejak puluhan tahun lalu dan diabadikan dalam lagu, tak kunjung menjadikan Banten sebagai lokasi favorit yang pantainya menjaid prioritas wisatawan.

Seperti Diandra. Mungkin dia enggan menemuiku di sini. Padahal lelaki bermata sayu itu berjanji akan kembali menemuiku di pantai ini setelah tiga purnama. Namun ini purnama keempat. Namun sosoknya tak kunjung tiba.
***
Debur ombak terus bergemuruh, mengantar senja menuju pergantian hari. Aku melangkahkan kaki menuju pulang. Rumahku di Cikoneng, tidak jauh dari Mercusuar peninggalan Belanda itu.

Konon, dari petikan Dalung Kuripan atau Prasasti Kuripan yang masih teronggok di sudut kampungku, kampung tempatku tinggal salah satu bukti kuatnya persahabatan masyarakat Banten dan Lampung. Persahabatan yang sudah berumur 400 tahun lebih ini melahirkan perkampungan suku Lampung yang akrab disebut Lampung Cikoneng atau Cikoneng.

Aku memang generasi ketiga dari leluhurku yang hijrah ke pesisir Anyer. Namun aku sama sekali tak mengenal budaya nenek moyangku yang hanya terpisah selat Sunda. Padahal perjalanan menuju tepi selatan pulau Sumatera itu sangat singkat, hanya tiga jam menggunakan kapal roro.

Emak dan Ayah pun tidak pernah mengajak ke tempat di mana aku berasal. Wajar jika aku tak mengenal tempat leluhurku lahir. Menurut Kakek, kampungku satu dari empat kampung yang disebut kampung empa’ pekon. Tiga kampung lainn adalah Bojong Tegal, dan Salatuhur.

”Ini ditandai dengan ikrar saling membantu menjaga kedaulatan dan syiar Islam antara Pangeran Saba Kingking dari Kesultanan Banten dengan Ratu Darah Purih dari keratuan Lampung pada abad ke-16. Ikrar itu tertulis dalam sejarah Babat Kuripan dengan Dalung Kuripan atau Prasasti Kuripan yang ditulis dalam bahasa Jawa Banten,” ujarku pada Diandra di suatu senja.

Mahasiswa semester akhir Universitas Lampung itu nampak termangu. Sepertinya ia serius menyimak penjelasanku. ”Kamu sangat cakap menerahkan silsilah kampung ini, sepertinya kamu sangta hafal dan mengerti. Beruntung aku bertemu dirimu dalam penelitianku ini,” ujar Diandra sambil terus menghujamkan matanya padaku.

Aku tersipu, dan memandang ke lain arah tepat pada seorang nelayan yang melempar sauh di dekat tepian pantai.

”Kampung ini sudah menjadi darah dagingku, mengurat akar dalam benak. Kakek mengajarkan ini padaku,” ujarku sambil menarik nafas perlahan lalu menghembuskannya tanpa suara.

Itu minggu kedua aku mengenal Diandra Prasetya. Lelaki berkulit kuning langsat dan bermata sipit ini sekilas memang mirip warga Tionghoa. Tapi begitulah garis wajah yang tergambar pada suku asli Lampung yang tersebar di pesisir pantai maupun pedalaman. Aku sudah tidak asing. Aku banyak menemukan garis ajah itu di beberapa sanak keluargaku. Kakek pun banyak bercerita tentang hal ini.
Mungkin inilah yang membuatku langsung merasa nyaman dengan Diandra sejak Ayah memperkenalkanku dengannya sejak hari pertama.

Ayahku memang kepala suku yang dituakan di Cikoneng. Tak heran jika Diandra langsung menyasar rumahku untuk objek penelitiannya seputar keturunan Lampung di Banten. Jika saja Kakek masih ada, mungkin aku tidak akan pernah menemani Diandra ke berbagai lokasi peninggalan sejarah dan terlibat konflik hati yang membuatku sakit di kemudian hari.
***
Kedekatanku dengan Diandra kian hari kian intim. Pun saat aku mengantarkannya ke Prasasti Kuripan yang berbunyi, “Lamun ana musuh Banten, Lampung pangarep Banten tut wuri. Lamun ana musuh Lampung, Banten pangarep Lampung tut wuri.”

Ini memang bukan bahasa Lampung, apalagi Lampung dengan dialek pesisir tempat Diandra berasal. Ini merupakan bahasa Jawa Banten yang dialek serupa banyak ditmukan di Serang tepatnya di kawasa peziarahan Banten Lama tempat Sultan Maulana Hasanudin disemayamkan.

”Ini berarti, jika ada musuh Banten, Lampung yang akan menghadapi dan Banten mengikuti. Dan jika ada musuh Lampung, Banten yang akan menghadapi dan Lampung mengikuti,” begitu penjelasanku mengenai makna prasasti itu pada Diandra.

Ia menatapku lekat. ”Aku akan melakukan ini untukmu Raya,” ujarnya lirih.

Aku terkesiap. Segera kusembunyikan wajahku dengan menundukkan ke tanah, aku tak ingin rona merahku terbaca olehnya. Aku pun tak ingin degup jantung yan berdetak lima puluh kali lebih cepat sejak hari pertama meihatnya, terdengar oleh Diandra, lelaki dengan wajah yang selalu mengunjungi beragam kisah dalam tidurku.

”Aku serius Raya, apapun yang terjadi, aku akan melakukan semuanya untukmu. Aku rela mengadapi sejuta prajurit berpistol tanpa meriam Kiamuk yang sekarang hanya tersimpan di musium Banten Lama,” ujar Diandra. Nada suaranya terdengar menggebu, mengalahkan deru angin yang terasa semakin dingin menusuk kulit.

Aku tertunduk. ”Serius Diandra. Tapi aku hanya gadis lulusan SMA, sedang kamu sebentar lagi arjana,” ujarku yang mengenang masa manis putih abu-abu saat di SMAN 1 Anyer dua tahun lalu.
Saat di bangku SMA, belum pernah ada lelaki yang berkata begitu manis padaku. Dan Diandra adalah pengecualian dalam hidupku saat ini. Ia begitu terbuka. Kata-katanya begitu mengena di hati, dan meninggalkan jejak hingga di atas peraduan, membuatku tak bisa terlelap hingga pagi.

Aku tak menjawab apa-apa saat itu. Namun para pria mengartikan lain. Menurut mereka yang mengutamakan logika daripada rasa, tingkah diam seseorang wanita dalam menyikapi sesuatu, berarti tanda setuju. Sedangkan aku, hanya menikmati apa yang menjadi seharusnya kualami dalam hidupku. Aku sudah mendamba sejak lama masa-masa seperti ini. Pun saat duduk di bangku SMA.

Entahlah, pepatah bijak mengatakan, kadang Tuhan tidak menjawab doa kita pada saat itu juga tapi menyimpannya untuk nanti. ”Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan tapi yang kita butuhkan.” Itu kalimat Ayah yang selalu kuingat tentang memaknai hidup.
***
Setelah kejadian itu, aku tak lagi canggung menceritakan segala cerita kehidupanku. Sebaliknya, aku pun tak malu menanyakan tentang latar belakang kehidupannya.

Ini bukan cerita Cinderella, karena aku yakin Diandra bukan pangeran dan aku pun bukan putri miskin yang ditinggal mati kedua orangtuanya dan terlunta-lunta karena hidup dengan ibu dan saudara tirinya. Aku adalah aku, Raya Meriska, generasi ketiga suku Lampung yang tinggal di pesisir Anyer.
Sedikitnya aku mengerti tradiis Lampung yang mengutamakan pernikahan dengan sesama suku. Tapi aku yakin, Diandra dapat memaklumi itu. Meskipun aku lahir dan dibesarkan di Anyer, leluhurku berasal dari Lampung. Meskipun dialek Lampung kami berbeda karena menyesuaikan dengan masyarakat setempat, tapi tetap saja kami adalah berasal dari Lampung. Bukankah ayam tetap akan dinamai ayam meskipun dipelihara seekor elang.

Leluhurku datang ke daerah yang sekarang dipanggil Cikoneng pada abad ke-18. berawal dari peristiwa penaklukan kerajaan Padjajaran, Kedaung, Kandang Wesi, Kuningan dan terakhir daerah Parung Kujang oleh prajurit dari Keratuan Lampung. Penaklukan daerah Parung Kujang yang sekarang Kabupaten Sukabumi pada abad ke-17.

Pada waktu penaklukan Parung Kujang, Keratuan Lampung tidak diketahui sedang dipimpin siapa. Sebab kerajaan Lampung waktu itu ada dua, Kuripan (Kalianda) dan Tulang bawang yakni Menggala. Tapi saat itu Kesultanan Banten diketahui sedang berada dalam pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Keratuan Lampung mengirimkan empat orang prajurit kakak beradik, yaitu Menak Gede, Menak Iladiraja, Menak Sengaji dan Menak Parung.

”Mungkin aku adalah salah satu reinkarnasi dari empat prajurit kakak beradik itu Raya. Aku datang ekamri untuk menjemputmu kembali ke tanah leluhurmu dan kita menikah di sana dan membesarkan anak kita,” ujar Diandra di suatu siang.

Seperti biasa, setelah berkelilng ke bebera situs peninggalan sejarah, aku dan Diandra beristirahat di saung dekat Mercusuar yang menghadap pantai. Di sana, Diandra asyik mencatat berbagai keterangan dengan detil dan memeriksanya kembali di saung itu. Diandra tipe lelaki yang ulet. Berebeda dari cerita kakekku. Sebelum ia meninggal, ia mengatakan, tak perlu menikahi lelaki satu suku jika memang merepotkan.

”Tak banyak yang bisa diandalkan dengan mempertahankan adat pernikahan satu suku selain melebarkan jarak persatuan kebangsaan Raya,” ujar Kakek setelah mengatakan perangai mekhanai atau pemuda Lampung lebih suka bersantai daripada bekerja keras. ”Tapi mereka terbuka menerima pendatang, seperti slogan sang bumi ruwa jurai yang berarti satu bumi dua jenis penduduk, maksudnya pribumi dan pendatang. Mereka hidup berdampingan satu sama lain,” jelasnya.

Entahlah, aku begitu terpesona pada Diandra. Sorot matanya yang sayu yang terpancar drai mata sipitnya, justru membuatku semakin rindu. Rasanya tak sedetikpun ingin kulewatkan tanpanya. Ini benar-benar gila, tapi ini cinta.

”Kau tau Diandra, keempat utusan itu saat datang ke Kesultanan Banten dan melapor, sempat membuat Sultan Agung kecewa. Bagaimana bisa empat orang mengalahkan ratusan praurit musuh. Tapi itu ditepis setelah keempatnya membuktikan kelihaian taktik tipu muslihat yang berhasil mengalahkan pasukan Parung Kujang. Kisah penaklukan itu sampai kini terkenal dengan cerita rakyat Cikoneng, Taktik Manusia Kerdil dan Baju Dendeng,” ujarku.
”Wao, aku sungguh luar biasa. Aku berani bertaruh, kau akan menjadi sejarawan terkenal abad ini jika kau melanjutkan studimu ke jenjang lebih tinggi,” Diandra berkata spontan. Kemudian meminta maaf setelah kurasakan wajahku merona seperti ditampar dengan rotan.
”Maaf, aku tak bermaksud menyinggungmu dengan kata-kataku tadi,” suara Diandra melunak.
Ia tahu, aku sangat ingin kuliah. Tapi ia juga tahu, keluargaku yang hanya menggantungkan hidup dari laut hanya bisa menyekolahkanku hingga bangku SMA.
”Bisa kau lanjutkan lagi ceritamu mengani empat prajurit utusan Keratuan Lampung tadi?” Diandra mengalihkan pembicaraan. Aku menyeruput es kelapa muda yang menurutku sudah tidak lagi asing. Lain halnya dengan Diandra yang nampak sangat menikmati dengan minuman yang disajikan langsung dengan batok kelapa yang masih ranum.

”Karena keberhasilan mereka, Sultan Agung akhirnya mengangkat Menak Gede sebagai adipati di Kerajaan Banten. Namun setelah setahun menjabat, Menak Gede meninggal dunia. Jabatan Adipati diserahkan kepada adiknya, Minak Iladiraja. Ia pun mengalami nasib yang sama, wafat setahun kemudian. Sayang, makam kedua kakak beradik itu tidak pernah diketahui sampai saat ini,” ujarku memberi jeda.

”Sepeninggalan Menak Iladiraja, Menak Sengaji dipanggil Sultan untuk menggantikan Menak Iladiraja. Akan tetapi Menak Sengaji tidak langsung menerima jabatan itu. Ia meminta syarat mau diangkat menjadi adipati di luar daerah kekuasaan kakaknya. Menak Sengaji ingin daerah Banten bagian barat, daerah yang langsung berhadapan dengan daerah leluhurnya. Ia juga meminta dibolehkan membawa saudara-saudaranya dari Lampung,” imbuhku sambil melempar pandang ke lautan, menatap pulau kecil yang kadang terselimuti kabut.

”Lalu,” Diandra penasaran.

Syarat itu diluluskan Sultan Agung. Malahan Sultan Agung memberi Menak Sengaji hak kepemilikan atas selat sunda termasuk Pulau Sangiang,” aku menujuk pulau yang ada di depan kami. ”Dan tanah sepanjang pesisir Selat Sunda, mulai dari Tanjung Purut atau Merak sampai ke Ujung Kulon. Dari Tanjung Purut ke pedalaman hingga ke Gunung Panenjuan atau Mancak dan terus membentang ke arah barat mencapai Gunung Haseupuan berakhir di Ujung Kulon. Itulah tanah kekuasaannya,” ujarku.

”Karena itulah kau ada di sini. Diboyong Menak Sengaji bersama 40 kepala keluarga yang terdiri dari sembilan buai, di antaranya Buai Aji, Arong, Rujung, Kuning, Bulan, Pandan, Manik dan Besindi itu,” Diandra bersemngat. Tak jauh dari tempat ia duduk, Blackberry Curve miliknya menyala, aku tahu ia sedang merekam pembicaraan kami.

Tapi aku menghargainya sebagai kegigihan. Ia begitu ulet dalam mengumpulkan informasi. Kadang aku malu menjadi informan yang paling sering ia rekam. Aku bukanlah tetua adat, bukan pula aksi lakon sejarah. Aku hanyalah orang kedua bahkan ketiga yang mendapat cerita lelhuruku dari Kakek juga Ayah.

Aku memandangi wajah Diandra yang berseri. Tanpa diulas dalam kata, aku sangat tahu ia menginginkanku terus bercerita. Karena itulah aku terus bersuara. Kadang, untuk seseorang yang kita cintai dengan sepenuh hati, kita rela melakukan apa saja.

”Pertama kali rombongan itu datang kemari, kemungkinan terbawa arus timur, rombongan Menak Sengaji terdampar di teluk perak. Akhirnya rombongan beristirahat tidak jauh dari teluk, tempat itu kemudian diberi nama Kubang Lampung, artinya tempat mendarat kumpulan warga Lampung di Banten. Setelah mengalami tiga kali perpindahan tempat rombongan Menak Sengaji sepakat menempati kawasan pantai Anyer yang dulu bernama Alas Priuk dan pelabuhannya dinamai Pelabuhan Priuk. Kemudian mereka mendirikan pemukiman lampung yang diberi nama Kampung Bojong,” ujarku patah-patah.

Aku tak sanggup lagi menceritakannya. Aku teringat wajah Kakek yang tirus di atas pembaringan. Namun ia tetap gigih menceritakannya untukku.

”Berputarnya roda waktu, jumlah 40 kepala keluarga itru itu beranak pinak, Kampung Bojong dimekarkan menjadi empat kampung yaitu Kampung Bojong, Kampung Cikoneng, Kampung Tegal dan terakhir Kampung Salatuhur,” aku berhenti sejenak. Ada satu kalimat yang tak kuberitahu pada Diandra.

”Tapi kudengar ada cerita menarik ketika rombongan ini sedang membuat kampung Salatuhur. Sultan Ageng tiba-tiba datang berkunjung. Kampung Salatuhur belum memiliki nama waktu itu. Dengan segera Menak Sengaji lalu meminta Sultan untuk memberi nama. Karena waktu sudah masuk waktu salat Zuhur, diberilah nama Kampung salat Zuhur dan karena perkembangan bahasa, kini ejaannya berganti menjadi Kampung Salatuhur,” ujar Diandra dengan nada bercanda.

Akupun tersenyum, llau tertawa kecil. Begitulah cara Diandra mengiburku. Ia sangat tahu dan pandai membaca air mukaku.

”Masih ada cerita lucu lagi, di Kampung Salatuhur, Sultan Ageng mengajak untuk salat Zuhur berjamaah. Tapi sial, kampung belum memiliki sumur untuk mengambil air wudu. Kemudian Sultan berdiri dan berjalan ke suatu tempat lalu menancapkan tongkatnya. Setelah dicabut bekas tancapan itu mengeluarkan air. yang hingga saat ini mata air itu masih utuh dan dipakai untuk umumt. Sumur itu dikenal dengan nama Sumur Agung, berdiameter kira-kira dua meter,” ujarku yang langsung ditanggapi decak kagum Diandra.

”Dahsyat kau Raya, andai saja besok aku diwisuda, maka aku akan melamarmu malam ini juga,” Diandra menatapku tajam. Tatapannya kali ini lain dari biasanya. Ia terus menatapku lekat. Sampai-sampai aku tak menyadari tangannya merayap di bagian paling sensitif di tubuhku. Aku terbuai, pun saat Diandra mengajakku ke saung paling ujung yang jarang dipilih pengunjung. Obak terus berdebur. Namun hatiku lebih berdebur.
***

Aku termenung di depan makam Menak Sangaji yang tepat berada di samping kantor pos Anyer. Sejak tadi aku hanya begini. Dalam benakku bukan lagi seputar kedatangan 40 kepala keluarga yang doboyong Menak Sangaji ke Kampung Bojong, aku hanya memikirkan empat purnama yang kulewati tak sama dengan empat puluh hari yang kulalui bersama Diandra.

Di tempat ini aku leluasa mengucurkan air mata. Tempat ini jarang dikunjungi masyarakat. Masyarakat Anyer memang tidak terlalu mengenal Menak Sangaji. Kecuali para keturunananya seperti aku.

Aku terisak. Aku merasa sangat berdosa. Ini hampir purnama kelima, dan apa yang harus kusampaikan pada masyarakat tentang ruh yang menempel di rahimku. Aku bukanlah Maria yang memiliki anak-anak secara tiba-tiba karena kedatangan sebuah cahaya.

Aku pun masih memiliki akal sehat bahwa anakku adalah pewaris dunia yang mengajarkan kebaikan.

”Kemana aku harus mencari kamu Diandra,” aku mendesah lirih.

Aku tak kuat lagi menerima cercaan orang sekampung perihal perutku yang semakin menggelembung. Aku pun tak ingin membuat beban Emak dan Ayah semakin payah.

“Dan kau adalah keturunan leluhur yang ditakdirkan sebagai kepala suku di kampung ini, kau adalah ratu Raya. Kau berhak mengenakan siger seperti yang banyak para gadis keratuan Lampung kenakan. Kenakanlah kain songket nenekmu yang tersimpan rapi di dalam lemari Kakek,” itu kalimat terakhir Kakek yang tak kukatakan pada Diandra.

Hari semakin sore. Matahari siap menggelincir ke ufuk barat. Aku berjalan perlahan ke arah langit yang memantulkan jingga yang semakin merona. Kain songket yang kukenakan serta siger yang bertengger di atas kepala membuatku harus perlahan dalam berjalan. Tak kupedulikan tatapan orang sekitar yang berpapasan denganku. Aku terus menuju laut, mencoba menyelami dasar selat sunda, berharap sampai ke pulau Sumatera untuk menemui Diandra.

Air laut yang dingin dan asin langsung teras merembesi pori-pori. Deru ombak semakin santer terdengar di telinga. Buih laut terasa semakin perih menusuk mata. Namun aku tak akan menghentikan langkahku. Ini adalah cara terbaik untuk menebus noda yang kutoreh.

Sampai seluruh tubuhku tak nampak lagi dari permukaan, aku terasa melayang. Sayup-saup terdengar suara orang yang kukenal. Ingin rasanya aku berbalik, tapi arus laut menggulung tubuhku. Hari semakin gelap. Rona merah siapo memudar berganti kelam.

Samar-samar kulihat sosok Diandra berteriak-teriak sambil menerjang ombak menggapai siger yang tercecer di atas ombak kecil yang mengantarnya ke tepi pantai.

Aku ingin berlari, namun seakan sangat berat. Sosok Diandra semakin mengecil. Tapi masih kulihat ia bersimpuh memeluk siger. Tak jauh dari sana seonggok ransel, dan orang-orang berlarian menuju laut mencari sesuatu.

Aku hanya berdesis. ”Ini purnama kelima Diandra, dan aku lelah menunggumu untuk waktu yang lebih lama lagi.” (*)

Kompas.com

Tidak ada komentar: