Oleh Christian Heru Cahyo Saputro
Semua yang telah dikerjakan untuk bahasa-bahasa Nusantara sama sekali tidak berharga dan tidak akan ada perubahan selama orang tidak mempelajarinya untuk kepentingan-kepentingan bahasa itu sendiri.
Komite Film Dewan Kesenian Lampung (DKL) merilis film bertajuk Risalah Van Der Tuuk. Film bergenre dokumenter ini mengisahkan kiprah sosok indonesianis peneliti yang punya perhatian pada bahasa-bahasa lokal Nusantara, antara lain bahasa Batak, Lampung, Bali, dan Jawa kuno (Kawi). Film yang dibuat berdasar hasil riset sastrawan Lampung, Arman A.Z. yang sekaligus menjadi produser ini disutradarai Irwan Wahyudi.
Film yang diikutsertakan dalam Denpasar Film Festival dan masuk 12 besar ini setidaknya menarik perhatian sebuah lembaga pemerhati warisan budaya, yaitu Badan Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI). Badan yang concern pada warisan budaya ini kemudian menindaklanjuti dengan pemutaran dan diskusi film Risalah Van Der Tuuk di Griya BPPI, Jalan Veteran, Jakarta, yang dikuti para pelaku pelestari budaya, pengamat budaya, dan pemangku kepentingan lainnya.
Film dibuka dengan penayangan teks surat H.N. Van Der Tuuk kepada sahabatnya, V.J. Veth, tertanggal 14 April 1867. Meski ditulis Van Der Tuuk sudah ratusan tahun lalu, surat itu tetap relevan dengan kenyataan kini dan nasib bahasa-bahasa Nusantara karena untuk menumbuhkembangkan bahasa-bahasa Nusantara sesungguhnya dibutuhkan rasa cinta yang kuat (passion), tidak bisa hanya setengah hati, termasuk menumbuhkembangkan bahasa Lampung yang kini stagnan.
Coba simak petikan suratnya berikut ini. “Semua yang telah dikerjakan untuk bahasa-bahasa Nusantara sama sekali tidak berharga dan tidak akan ada perubahan selama orang tidak mempelajarinya untuk kepentingan-kepentingan bahasa itu sendiri. Orang tidak akan berhasil di segala bidang selama melakukan pekerjaan itu tanpa cinta.”
Derit roda pintu gerbang dan kesibukan para kuncen yang melakukan aktivitas menyapu halaman Taman Pemakaman Belanda, Peneleh, Surabaya, membuka tabir kisah seorang indonesianis sejati Van Der Tuuk. Di sinilah perjuangan Van Der Tuuk, lelaki kelahiran Malaka, 18 Oktober 1824, berakhir.
Di Taman Pemakaman Belanda, Peneleh, di antara kuburan-kuburan tua lainnya yang tidak terawat inilah Van Der Tuuk, yang wafat 17 Agustus 1945, dimakamkan. Kuburan Van Der Tuuk bernomor B.103 sama keadaannya seperti kuburan-kuburan lainnya, tembok nisannya sudah retak di sana-sini, berlumut, dan ditumbuhi rerumputan liar.
Bahasa visual yang disodorkan kameraman Udo Ali dan Irwan Wahyudi benar-benar menggugah emosi. Bagaimana tidak mengenaskan sosok fenomenal Van Der Tuuk yang punya jasa dalam pengembangan bahasa Melayu dan bahasa-bahasa lokal Nusantara makamnya tidak terurus. Seorang pioner yang mengabadikan bahasa lokal Nusantara. Setidaknya, bangsa kita semestinya bisa mengapresiasi jasa-jasa Van Der Tuuk dengan lebih layak.
Budayawan Bali Wayan “Jengki” Sunarta dalam testemoninya menegaskan betapa Van Der Tuuk sangat berjasa bagi Indonesia. Menurut Jengki, Van Der Tuuk merupakan pembangkang besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Namun, dia merupakan pahlawan bahasa-bahasa lokal Nusantara.
Berpijak dari kuburan Peneleh ini kisah ditarik ke belakang (flash back). Van Der Tuuk memulai perjalanan penelitiannya di bumi Sumatera (1860—1866). Perjalanan penelitiannya dimulai dengan mendarat di Pelabuhan Telukbayur, Padang. Kemudian, dia untuk beberapa lama menetap di Sibolga.
Dari Sibolga, Van der Tuuk meneruskan perjalanan ke kota pelabuhan dan niaga Barus. Di kota ini dia menetap, membangun rumah, dan mulai melakukan penelitian bahasa Batak. Kemudian, Van Der Tuuk masuk pedalaman tanah Batak, yaitu Bakara, pusat istana dari Raja Sisingamangaraja.
Van der Tuuk merupakan orang Eropa pertama yang menginjakkan kakinya di Danau Toba. Di tanah Batak, Van Der Tuuk berhasil menyelesaikan kamus bahasa Batak, tata bahasa Batak, dan alkitab Batak.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya di Sumatera, Van Der Tuuk mendapat tugas ke Bali. Namun, sebelum menetap di Bali, karena terjadi perang Buleleng, dia sempat ditugaskan ke Lampung dari 1868—1869. Di Lampung, Van Der Tuuk yang tinggal di tepian Way Seputih, berhasil menulis manuskrip kamus setebal 600 halaman yang hingga kini belum tercetak dan tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda.
Pada 1871—1891, Van Der Tuuk tinggal di Bali. Karya-karya Van Der Tuuk tersimpan dengan baik di Gedung Kirtiya. Dia merupakan perintis linguistik sastra lokal. Sumbangsihnya terhadap perkembangan bahasa Bali sangat besar.
Selain itu, Van Der Tuuk juga meneliti bahasa Jawa kuno (Kawi). Kemudian, dari tahun 1891 hingga meninggal pada 17 Agustus 1894, dia tinggal di Surabaya.
Film yang melibatkan para pakar dan budayawan sebagai narasumber ini, antara lain Manguji Nababan (dosen Universitas Nomensen Medan), Kess Goneboer (kepala Erasmus Taalcentrum Jakarta), Nelson Tumban Toruan (birokrat), Thomson H.S. (Budayawan Pelestari Opera Batak), I Gusti Bagus Sudiasta, mantan kepala Gedung Kirtiya Bali, serta Moch. Ali dan Purnawan Basundoro (keduanya akademisi Unair) ini sangat padat dengan informasi dan juga harapan.
Sering munculnya narasumber menyampaikan testimoni dengan waktu yang cukup lama justru agak mengganggu estetika film. Sebaiknya, kalau testimoni para narasumber bertujuan menguatkan nilai historis, tidak perlu muncul berkali-kali. Alhasil, film ini jadi terkesan cerewet, menggurui, dan membosankan.
Padahal, para narasumber sebenarnya disodori naskah dari penulis skenarionya. Penggunaan narasi dalam film Risalah Van Der Tuuk ini lebih pas tentunya dengan dibarengi memperkaya gambar (visual) sehingga penonton tidak bosan. Penonton seolah-olah diajak menelusuri rekam jejak Van Der Tuuk ke daerah-daerah yang jadi sasaran penelitiannya. Film dengan bahasa gambarnya lebih bisa mengekplorasi jejak perjalanan dan artefak-artefak yang ditinggalkan Van Der Tuuk.
Film Risalah Van Der Tuuk sebagai sebuah pesan (risalah) memang sudah berhasil, pesan yang ingin disampaikan tentang kiprah Van Der Tuuk, ditangkap penonton. Namun, sebagai sebuah film yang juga sebagai tontonan yang semestinya mengandalkan bahasa visual kurang greget. Semangat besar para kru film dalam menggarap Van Der Tuuk ini patut diacungi jempol.
Namun, pendanaan yang minim dan waktu yang mepet karena mengejar target untuk diikutsertakan ke Denpasar Film Festival bukanlah sebuah alasan yang sahih untuk menjadikan film ini hadir dengan kualitas seadanya. Ketergesaan dalam eksekusi editing dan perencanaan produksi mungkin menjadi kendala mengapa kekayaan visual film ini terasa sangat kurang bicara. Konon, menurut Arman A.Z., stok shoot film ini masih banyak.
Menurut saya, materi film Van Der Tuuk ini bila dikembangkan lagi secara optimal punya potensi untuk digarap menjadi film dokumenter drama sekelas film Gie, Soegija, dan Sang Pencerah. Semua tentunya perlu perjuangan yang lebih berat, kerja keras, dan dana pendukung yang lumayan besar.
Sebagai bentuk apresiasi untuk Van der Tuuk, pemerintah Sumatera Utara, Lampung, dan Bali bisa membentuk konsorsium untuk membiayai film yang diharapkan bakal mengobarkan kembali sekaligus untuk menghargai dan menumbuhkembangkan bahasa-bahasa lokal Nusantara atau pesan Van der Tuuk akan berlalu begitu saja.
Christian Heru Cahyo Saputro, Penikmat film bermukim di Tembalang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar