Fachruddin : Kliping Dan Catatan Tentang Bahasa, Retorika, Sastra, Aksara dan Naskah Kuno
Senin, 21 Maret 2011
Dalung Bandar Dewa
DALUNG BANDARDEWA.
Naskah ini diketemukan oleh Nanang Saptono seorang peneliti arkeologi, di desa Bandar Dewa Tulangnawang Narat. Naskah dalung ini terbuat dari perunggu dengan ukuran 15 X 21 cm. Isi naskah ditulis dengan aksara Lampung kuno terdiri dari 17 baris.
Kepala naskah ditulis dengan huruf Jawi (Arab melayu) dengan menyebut tahun 1249, tetapi dengan menggunakan angka Arab (Romawi) tertera angka 1818.
Nanag Saptono meminta kepada masyarakat peminat naskah kuno Lampung untik bersabar karena pada saat ini sedang melakukan penelituan lebih lanjut tentang konten naskah serta korelasinya dengan perjalanan sejarah Lampung.
Dalam hal ini Udo Z.Karzi penulis kebudayaan Lampung yang kesehariannya beraktivitas sebagai Jurnalis di lampung juga memberitahukan akan adanya naskah kuno yang kini dipegang oleh Amran AZ (pewaris) sebuah naskah manuskrip yang dikumpulkan oleh Herman Vander Tuk. Naskah ini juga masih diteliti oleh Arman Ar. Tetapi dia membutuhkan waktu yang lebih lama karena naskau yang terdiri dari 174 halaman ida sekitar 80% yang beraksara anpung sisanya dalam bahasa Prancis.
Minggu, 13 Maret 2011
Kisah Nasionalisasi Bahasa Melayu
Opini Lampost : Sabtu, 12 Maret 2011
Misbahus Surur
Mahasiswa S-2 UIN Maliki Malang
Perjalanan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional, bukanlah perjalanan yang gampang. Kendati ihwal transformasi bahasa, dari bahasa daerah menuju bahasa kebangsaan, jamaknya menjadi hal yang lumrah. Untuk kasus bahasa Melayu, pilihan kepadanya bukan berdasarkan suatu yang singkat, melainkan melewati proses dan pertimbangan yang cukup panjang dan melelahkan. Beberapa pertimbangan itu seperti; tersebarnya ”ragam” bahasa Melayu ke seantero Nusantara, jauh sebelum bahasa ini dikonversi menjadi bahasa nasional (1928). Aspek lainnya adalah perilaku kebahasaan para nasionalis (elite politik) yang kala itu juga diam-diam mengarah ke sana. Berdasarkan telisik Hoffman (Badri Yatim, 1999) misalnya, dalam lingkup keluarga, para elite itu biasa memakai bahasa daerah masing-masing. Namun dalam ranah sosial-politik, mereka cenderung menggunakan bahasa Belanda. Kendati begitu, ada yang tak masuk telisik ini. Seperti penggunaan bahasa Jawa ngoko O.S. Tjokroaminoto dalam sebuah kongres di Malang tahun 1932. Juga sebuah riwayat penggunaan bahasa Melayu (pidato) Soekarno sewaktu masih duduk di bangku HBS Surabaya. Didorong oleh ketidaksetujuannya pada pidato ketua Studieclub yang berisi anjuran supaya generasi muda menguasai bahasa Belanda. Kala itu, Soekarno malah menganjurkan segenap komponen perkumpulan agar mengembangkan bahasa Melayu.
Terkait penyebarannya, Denys Lombard (2005) dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya, mencatat bahwa bahasa Melayu kuno yang berasal dari pesisir timur Sumatera bagian selatan, ternyata menjadi bahasa perdagangan Kerajaan Sriwijaya. Bahasa ini digunakan di bagian barat Nusantara dan semenanjung tanah Melayu; baik di lingkungan istana, ranah-ranah keagamaan maupun perdagangan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam beberapa prasasti yang ditemukan di luar wilayah penutur bahasa Melayu. Di mana enam dari prasasti tersebut–yang salah satunya berada di Jawa-, bertahun antara 792 hingga abad ke-9 Masehi. Sementara A. Teeuw (1994: 251), menulis, sekitar abad 15 terdapat sebuah kamus Daftar China-Melayu serta Daftar Kata Melayu-Italia (1522) yang disusun Pigafetta. Bahkan, menurut catatan Teeuw tersebut, sekitar abad ke-16, seorang Belanda bernama Jan Huygen van Linschoten memastikan bahasa Melayu di Asia Tenggara tak kurang penting dalam fungsi komunikasi antarbangsa dan suku, dari bahasa Prancis di Eropa Barat.
Pada era kolonial, sebagaimana yang dicatat van Der Putten,—terlepas dari dikotomi-dikotomi kebahasaan yang saat itu diwacanakan serta dipraktekkan kaum kolonial-, beberapa peneliti seperti Von de Wall, Klinkert juga Van Ophuijsen, pernah dikirim pemerintah penjajah ke Riau untuk mencatat bahasa Melayu ke dalam kamus dan tata bahasa (gramatika). Di mana dalam pekerjaan itu, peneliti-peneliti tersebut dibantu cendekiawan pribumi, seperti Haji Ibrahim, Raja Bih, termasuk pujangga kenamaan Riau, Raja Ali Haji. Yang mana bahasa itu selanjutnya ditakok-tambah; diolah; disesuaikan; dicampuri bahasa-bahasa lain, agar ia cocok menerima sekaligus mentransportasikan pengetahuan modern bagi pihak kolonial (Jan van Der Putten, dalam Sweeney, 2007: hlm 28-29).
Sedang tokoh-tokoh yang punya andil dalam memerjuangkan bahasa Melayu, sedikit di antaranya Achmad Djajadiningrat (seorang bupati Serang), yang pernah meminta agar bahasa ini diakui sebagai bahasa dalam persidangan di Volksraad tahun 1918, sebagaimana halnya bahasa Belanda. Lalu, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Di mana pada Kongres Pendidikan Kolonial pertama di Den Haag, sekira tahun 1916, ia pernah menyatakan bahwa bahasa Melayu akan menjadi bahasa perhubungan di seluruh Hindia Belanda (Hoffman, 1995: 547). Kemudian, yang tak boleh dilupakan, adalah andil besar Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Perjuangan STA dalam menentukan arah dan desain bahasa Indonesia (yang merupakan turunan bahasa Melayu), sangatlah penting. Aktivitas dan karier STA di bidang bahasa dan peristilahan di zaman Jepang dan periode awal Republik ini, diakui para peneliti asing dan dalam negeri, sebagai sumbangan yang luar biasa. Terutama tahun 1938 dalam kongres Solo, juga sekira tahun 1942 sampai 1944 (komisi bahasa Indonesia). Bahkan, dalam buku Jerome Samuel, Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosa Kata dan Politik Peristilahan (terj. oleh Dhany Saraswati Wardhany, 2008), dikatakan, Takdir-lah yang dianggap telah mengenalkan kasus bahasa Indonesia ke tingkat Internasional. Semisal melalui publikasi tulisan-tulisannya dalam beberapa majalah mulai 1949, juga publikasi tulisan atas permintaan lembaga PBB, UNESCO, pada 1951.
Dalam beberapa karya sastra, penggunaan bahasa Melayu,--dan lebih jauh lagi kelak tentang gagasan nasionalisme-, bisa dirujuk, antara lain melalui cerita Marco Kartodikromo berjudul Semarang Hitam. Sebuah cerita bersambung dalam surat kabar tahun 1924. Cerita itu menghadirkan tokoh seorang lelaki anonim yang sering diacu sebagai “lelaki muda kita”. Sang tokoh kerap ditempelkan pada lanskap sosial, yang dalam kisah disusun secara hati-hati. Menurut Anderson, tanpa mengonkretkan nama, si tokoh cerita telah sanggup membayang ke benak pembaca. Pada narasi itu, digambarkan seorang laki-laki tengah membaca koran sambil mengawasi pikuk jalanan di luar sana; lanskap sosial jalanan kota; tentang gaya hidup juga tragedi-tragedi harian yang menyertainya. Lalu pada halaman koran, si lelaki menemukan sebuah berita tentang gelandangan yang sakit dan tewas di tepi jalan. Oleh tragedi yang baru saja ia baca, laki-laki tersebut lantas mengritik berbagai ketimpangan sosial di negeri jajahan yang tak seharusnya.
Laki-laki, si tokoh kita ini, kendati dalam cerita hanya representasi seorang individu, seolah punya kekuatan untuk bertaut kepada sosok lelaki muda yang mewakili tubuh kolektif pembaca Indonesia. Tidak saja karena novel itu berbahasa Melayu, melainkan karena struktur kisah; pronomina kita juga tragedi yang sedang dibaca, setidaknya, mampu mewakili keadaan orang-orang di luar cerita, yakni pembaca pribumi (Ben Anderson, Imagined Communities, terj. Omi Intan Naomi, hlm. 45-48).
Begitu pula dengan novel-novel yang searas, semisal Nyai Permana karya Tirto Adhi Soerjo, Studen Hidjo dan Mata Gelap yang nota bene karya lain Marco Kartodikromo, juga Hikajat Kadiroen-nya Semaoen. Sedikit dari novel-novel itu, pada tahap awal, sejatinya telah menempuh sebuah proses menuju ruang pembayangan. Sebuah khayalan akan komunitas, yang mula-mula dibangun dari kesadaran kebahasaan. Yang barangkali teknis tapi cukup penting. Yakni melalui bahasa pribumi yang tercetak dalam novel-novel. Maka, tak heran bila serangkaian novel tadi, dulunya sering kena stigma pemerintah kolonial sebagai bacaan liar, roman picisan dan sebutan buruk yang lain. Entah karena substansi, maupun ekses literal yang ditimbulkan. Karena itu, tersebarnya narasi novel bisa kita asumsikan sebagai upaya menasionalisasikan bahasa Melayu. Selain juga menjadi bibit awal bagi tumbuhnya kesadaran dan nasionalisme.
Demikianlah, bahasa Melayu memang telah lama digunakan di seluruh pelosok Nusantara sebagai bahasa pengantar. Pun orang-orang Eropa, ketika tiba untuk pertama kali di berbagai pulau Nusantara juga menggunakan pengantar bahasa ini. Tak kecuali dalam beberapa karya sastra terbitan awal juga sebagaian tokoh nasionalis kita. Dan bahasa Jawa misalnya, saat itu (1928) tidak dipilih menjadi bahasa nasional, sebenarnya bukan lantaran kapasitasnya yang feodalis dan atau substansinya yang dikotomik. Melainkan hanya karena bahasa ini tidak masyhur dan lebih tidak sederhana dibanding bahasa Melayu. Kesederhanaan seperti apa yang ada pada bahasa Melayu? Samuel (2008: 149) dengan melandaskan pada serangkaian keterangan STA, mencoba menelisik maksud dari kata “sederhana” tersebut. Sederhana di sini, sedikitnya seperti: ketidakberubahan bentuk kata, keteraturan sistem afiks dan kesederhanaan ejaan (struktur suku kata). Barangkali, sebab itulah Muhammad Yamin melihat kemungkinan bahasa Melayu bakal menjadi bahasa persatuan (lingua franca), jauh sebelum digadang-gadang oleh STA.
Misbahus Surur
Mahasiswa S-2 UIN Maliki Malang
Perjalanan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional, bukanlah perjalanan yang gampang. Kendati ihwal transformasi bahasa, dari bahasa daerah menuju bahasa kebangsaan, jamaknya menjadi hal yang lumrah. Untuk kasus bahasa Melayu, pilihan kepadanya bukan berdasarkan suatu yang singkat, melainkan melewati proses dan pertimbangan yang cukup panjang dan melelahkan. Beberapa pertimbangan itu seperti; tersebarnya ”ragam” bahasa Melayu ke seantero Nusantara, jauh sebelum bahasa ini dikonversi menjadi bahasa nasional (1928). Aspek lainnya adalah perilaku kebahasaan para nasionalis (elite politik) yang kala itu juga diam-diam mengarah ke sana. Berdasarkan telisik Hoffman (Badri Yatim, 1999) misalnya, dalam lingkup keluarga, para elite itu biasa memakai bahasa daerah masing-masing. Namun dalam ranah sosial-politik, mereka cenderung menggunakan bahasa Belanda. Kendati begitu, ada yang tak masuk telisik ini. Seperti penggunaan bahasa Jawa ngoko O.S. Tjokroaminoto dalam sebuah kongres di Malang tahun 1932. Juga sebuah riwayat penggunaan bahasa Melayu (pidato) Soekarno sewaktu masih duduk di bangku HBS Surabaya. Didorong oleh ketidaksetujuannya pada pidato ketua Studieclub yang berisi anjuran supaya generasi muda menguasai bahasa Belanda. Kala itu, Soekarno malah menganjurkan segenap komponen perkumpulan agar mengembangkan bahasa Melayu.
Terkait penyebarannya, Denys Lombard (2005) dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya, mencatat bahwa bahasa Melayu kuno yang berasal dari pesisir timur Sumatera bagian selatan, ternyata menjadi bahasa perdagangan Kerajaan Sriwijaya. Bahasa ini digunakan di bagian barat Nusantara dan semenanjung tanah Melayu; baik di lingkungan istana, ranah-ranah keagamaan maupun perdagangan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam beberapa prasasti yang ditemukan di luar wilayah penutur bahasa Melayu. Di mana enam dari prasasti tersebut–yang salah satunya berada di Jawa-, bertahun antara 792 hingga abad ke-9 Masehi. Sementara A. Teeuw (1994: 251), menulis, sekitar abad 15 terdapat sebuah kamus Daftar China-Melayu serta Daftar Kata Melayu-Italia (1522) yang disusun Pigafetta. Bahkan, menurut catatan Teeuw tersebut, sekitar abad ke-16, seorang Belanda bernama Jan Huygen van Linschoten memastikan bahasa Melayu di Asia Tenggara tak kurang penting dalam fungsi komunikasi antarbangsa dan suku, dari bahasa Prancis di Eropa Barat.
Pada era kolonial, sebagaimana yang dicatat van Der Putten,—terlepas dari dikotomi-dikotomi kebahasaan yang saat itu diwacanakan serta dipraktekkan kaum kolonial-, beberapa peneliti seperti Von de Wall, Klinkert juga Van Ophuijsen, pernah dikirim pemerintah penjajah ke Riau untuk mencatat bahasa Melayu ke dalam kamus dan tata bahasa (gramatika). Di mana dalam pekerjaan itu, peneliti-peneliti tersebut dibantu cendekiawan pribumi, seperti Haji Ibrahim, Raja Bih, termasuk pujangga kenamaan Riau, Raja Ali Haji. Yang mana bahasa itu selanjutnya ditakok-tambah; diolah; disesuaikan; dicampuri bahasa-bahasa lain, agar ia cocok menerima sekaligus mentransportasikan pengetahuan modern bagi pihak kolonial (Jan van Der Putten, dalam Sweeney, 2007: hlm 28-29).
Sedang tokoh-tokoh yang punya andil dalam memerjuangkan bahasa Melayu, sedikit di antaranya Achmad Djajadiningrat (seorang bupati Serang), yang pernah meminta agar bahasa ini diakui sebagai bahasa dalam persidangan di Volksraad tahun 1918, sebagaimana halnya bahasa Belanda. Lalu, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Di mana pada Kongres Pendidikan Kolonial pertama di Den Haag, sekira tahun 1916, ia pernah menyatakan bahwa bahasa Melayu akan menjadi bahasa perhubungan di seluruh Hindia Belanda (Hoffman, 1995: 547). Kemudian, yang tak boleh dilupakan, adalah andil besar Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Perjuangan STA dalam menentukan arah dan desain bahasa Indonesia (yang merupakan turunan bahasa Melayu), sangatlah penting. Aktivitas dan karier STA di bidang bahasa dan peristilahan di zaman Jepang dan periode awal Republik ini, diakui para peneliti asing dan dalam negeri, sebagai sumbangan yang luar biasa. Terutama tahun 1938 dalam kongres Solo, juga sekira tahun 1942 sampai 1944 (komisi bahasa Indonesia). Bahkan, dalam buku Jerome Samuel, Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosa Kata dan Politik Peristilahan (terj. oleh Dhany Saraswati Wardhany, 2008), dikatakan, Takdir-lah yang dianggap telah mengenalkan kasus bahasa Indonesia ke tingkat Internasional. Semisal melalui publikasi tulisan-tulisannya dalam beberapa majalah mulai 1949, juga publikasi tulisan atas permintaan lembaga PBB, UNESCO, pada 1951.
Dalam beberapa karya sastra, penggunaan bahasa Melayu,--dan lebih jauh lagi kelak tentang gagasan nasionalisme-, bisa dirujuk, antara lain melalui cerita Marco Kartodikromo berjudul Semarang Hitam. Sebuah cerita bersambung dalam surat kabar tahun 1924. Cerita itu menghadirkan tokoh seorang lelaki anonim yang sering diacu sebagai “lelaki muda kita”. Sang tokoh kerap ditempelkan pada lanskap sosial, yang dalam kisah disusun secara hati-hati. Menurut Anderson, tanpa mengonkretkan nama, si tokoh cerita telah sanggup membayang ke benak pembaca. Pada narasi itu, digambarkan seorang laki-laki tengah membaca koran sambil mengawasi pikuk jalanan di luar sana; lanskap sosial jalanan kota; tentang gaya hidup juga tragedi-tragedi harian yang menyertainya. Lalu pada halaman koran, si lelaki menemukan sebuah berita tentang gelandangan yang sakit dan tewas di tepi jalan. Oleh tragedi yang baru saja ia baca, laki-laki tersebut lantas mengritik berbagai ketimpangan sosial di negeri jajahan yang tak seharusnya.
Laki-laki, si tokoh kita ini, kendati dalam cerita hanya representasi seorang individu, seolah punya kekuatan untuk bertaut kepada sosok lelaki muda yang mewakili tubuh kolektif pembaca Indonesia. Tidak saja karena novel itu berbahasa Melayu, melainkan karena struktur kisah; pronomina kita juga tragedi yang sedang dibaca, setidaknya, mampu mewakili keadaan orang-orang di luar cerita, yakni pembaca pribumi (Ben Anderson, Imagined Communities, terj. Omi Intan Naomi, hlm. 45-48).
Begitu pula dengan novel-novel yang searas, semisal Nyai Permana karya Tirto Adhi Soerjo, Studen Hidjo dan Mata Gelap yang nota bene karya lain Marco Kartodikromo, juga Hikajat Kadiroen-nya Semaoen. Sedikit dari novel-novel itu, pada tahap awal, sejatinya telah menempuh sebuah proses menuju ruang pembayangan. Sebuah khayalan akan komunitas, yang mula-mula dibangun dari kesadaran kebahasaan. Yang barangkali teknis tapi cukup penting. Yakni melalui bahasa pribumi yang tercetak dalam novel-novel. Maka, tak heran bila serangkaian novel tadi, dulunya sering kena stigma pemerintah kolonial sebagai bacaan liar, roman picisan dan sebutan buruk yang lain. Entah karena substansi, maupun ekses literal yang ditimbulkan. Karena itu, tersebarnya narasi novel bisa kita asumsikan sebagai upaya menasionalisasikan bahasa Melayu. Selain juga menjadi bibit awal bagi tumbuhnya kesadaran dan nasionalisme.
Demikianlah, bahasa Melayu memang telah lama digunakan di seluruh pelosok Nusantara sebagai bahasa pengantar. Pun orang-orang Eropa, ketika tiba untuk pertama kali di berbagai pulau Nusantara juga menggunakan pengantar bahasa ini. Tak kecuali dalam beberapa karya sastra terbitan awal juga sebagaian tokoh nasionalis kita. Dan bahasa Jawa misalnya, saat itu (1928) tidak dipilih menjadi bahasa nasional, sebenarnya bukan lantaran kapasitasnya yang feodalis dan atau substansinya yang dikotomik. Melainkan hanya karena bahasa ini tidak masyhur dan lebih tidak sederhana dibanding bahasa Melayu. Kesederhanaan seperti apa yang ada pada bahasa Melayu? Samuel (2008: 149) dengan melandaskan pada serangkaian keterangan STA, mencoba menelisik maksud dari kata “sederhana” tersebut. Sederhana di sini, sedikitnya seperti: ketidakberubahan bentuk kata, keteraturan sistem afiks dan kesederhanaan ejaan (struktur suku kata). Barangkali, sebab itulah Muhammad Yamin melihat kemungkinan bahasa Melayu bakal menjadi bahasa persatuan (lingua franca), jauh sebelum digadang-gadang oleh STA.
Bahasa Lampung Kurang Diminati?
Opini Lampost : Sabtu, 12 Maret 2011
MUHAMMAD MUIS.
Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional
Jika dalam suatu kesempatan orang berjalan-jalan ke Lampung untuk suatu keperluan, orang itu akan memperoleh kenyataan bahwa di dalam komunikasi sehari-hari akan jarang terdengar orang bertutur di dalam bahasa Lampung. Jika pun ada pertuturan di dalam bahasa daerah itu, frekuensi atau kekerapannya—boleh dikatakan—sangat kecil atau sangat jarang. Agaknya hampir-hampir dapat dihitung dengan jari orang yang bercakap-cakap di dalam bahasa ini. Yang menggunakannya pun lazimnya adalah generasi tua, bukan generasi muda. Harus diakui bahwa, jika dicermati dan diamati, di Lampung agak jarang terdengar generasi muda—orang asli Lampung ataupun, apalagi, orang bukan asli Lampung menggunakan bahasa Lampung.
Hal seperti ini sangat berbeda dengan realitas penggunaan bahasa Jawa, Sunda, Minang, dan Melayu Bangka, misalnya, di wilayah penggunaan bahasa daerah itu. Jika orang tadi—misalnya—berjalan-jalan ke Semarang, Bandung, dan Pangkalpinang, misalnya, ia akan mendapatkan perbedaan yang mencolok dengan apa yang ada di Lampung dalam hal penggunaan bahasa daerah itu.
Jika dilacak lebih lanjut, akan diperoleh kenyataan yang cukup mencengangkan juga bahwa banyak pendatang atau orang yang bukan asli Lampung yang sudah bermukim bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun, di Lampung banyak yang tidak dapat berbahasa Lampung, kecuali sepatah dua patah kata.
Apakah bahasa Lampung memang sulit untuk dikuasai ataukah ada faktor lain yang menyebabkan orang kurang tertarik untuk menggunakannya, apalagi mendalaminya? Apakah sebenarnya faktor penyebab persoalan itu?
Faktor Penyebab Bahasa Lampung Kurang Diminati
Penelitian yang komprehensif dan mendalam tentang apa penyebab kurangnya minat orang berbahasa Lampung, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia ini, setakat ini—setahu penulis—juga belum dilakukan. Oleh karena itu, kendati pun masih merupakan dugaan awal, berikut ditegaskan, antara lain beberapa faktor yang diduga kuat menjadi penyebab bahasa daerah ini kurang diminati.
Pertama, Provinsi Lampung adalah provinsi yang penduduknya heterogen. Selain penduduk asli Lampung, di provinsi ini banyak suku bangsa lain, seperti Jawa, Sunda, Minang, Bali, Melayu (misalnya Melayu Jakarta, Melayu Palembang, dan Melayu Bangka-Belitung). Kaum pendatang ini selain berbahasa daerahnya masing-masing sesama mereka, juga berbahasa Indonesia dengan kelompok suku lain. Bahkan, ada kalanya sesama suku mereka pun mereka berbahasa Indonesia.
Jarang sekali—jika pun pernah—mereka bertutur dalam bahasa Lampung. Pada satu sisi, hal itu kurang menguntungkan bagi pelestarian bahasa Lampung. Akan tetapi, pada sisi lain—untuk perkembangan dan masa depan bahasa Indonesia—hal itu sangat menguntungkan bahasa Indonesia sebab semakin hari jumlah penutur bahasa Indonesia, termasuk mereka yang sejak lahir telah menjadi penutur bahasa ibu bahasa Indonesia, semakin bertambah.
Dalam konteks itu, orang Lampung asli kurang dapat menerapkan penggunaan bahasa Lampung dengan rekannya yang bukan asli Lampung. Bahasa Lampung itu secara spesifik pada akhirnya—disetujui atau tidak—hanya dapat digunakan pada orang sesama penduduk asli atau orang Lampung yang memahaminya.
Kedua, bahasa Lampung kurang dipromosikan secara gencar, baik oleh Pemerintah Provinsi Lampung, pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Lampung, media massa, maupun dunia pendidikan. Promosi melalui jalur pariwisata, misalnya, agaknya dapat ditempuh.
Ketiga, pengajar atau guru bahasa Lampung, baik pada tingkat SD maupun SMP, saya duga masih sangat kurang. Asumsi dasar ini muncul sebab diduga guru bidang studi bahasa Lampung yang khusus mengajar bahasa ini di dunia persekolahan itu dianggap tidak memadai, terutama dari jumlah guru yang mengajar jika dibandingkan dengan rasio ribuan jumlah murid yang harus diajarkan di seluruh Provinsi Lampung.
Ketersediaan guru bidang studi bahasa Lampung yang terdidik secara khusus di dalam bahasa itu (artinya yang bersangkutan sebagai tenaga pengajar harus berijazah D-3 atau S-1 bahasa Lampung) agar dapat mengajarkan bidang studi itu dengan sebaik-baiknya merupakan conditio sine qua non. Jadi, penyediaan tenaga guru bahasa Lampung harus dapat dipenuhi sesegera mungkin. Hal ini harus dimaklumi bersama.
Keempat, Pemerintah Provinsi Lampung, pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Lampung, media massa, dunia pendidikan, dan pasar kerja belum memberikan perhatian yang maksimal kepada para lulusan perguruan tinggi yang mendalami bahasa Lampung, misalnya alumni D-3 dari Universitas Lampung (yang sayangnya program studi itu sementara ini telah ditutup). Penyerapan mereka di pasar kerja, khususnya di wilayah Provinsi Lampung, akan berpengaruh cukup signifikan bagi pengembangan, perkembangan, dan masa depan bahasa Lampung.
Kelima, penutur asli bahasa Lampung, khususnya generasi mudanya, diduga agaknya kurang bersikap positif terhadap bahasa daerah Lampung. Mereka lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia untuk keperluan komunikasi sehari-hari, yang bukan dalam konteks resmi. Beberapa penelitian, seperti Gunarwan (1994), Gunarwan (2001), dan Zawarnis dan Hasnawati Nasution (2009), setidaknya membuktikan hal itu. Untuk konteks yang tidak resmi atau di dalam percakapan sehari-hari, ada baiknya bahasa daerah ini mulai lebih digalakkan penggunaannya.
Tanggung Jawab Kebahasaan
Beberapa persoalan tersebut harus segera diupayakan pemecahannya dan dicarikan jalan keluarnya. Dengan iktikad baik dan kemauan keras yang dilakukan secara berencana, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan berbagai unsur yang relevan di dalam masyarakat, bukan sesuatu yang mustahil untuk mengatasi masalah itu.
Upaya pelestarian, pengembangan, dan pembinaan bahasa Lampung harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Usaha-usaha yang ditempuh tidak dengan sungguh-sungguh tidak akan dapat menghasilkan capaian yang maksimal!
Bahasa Lampung ini adalah milik bersama seluruh warga Lampung. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk penggunaan, pelestarian, pembinaan, dan pengembangannya pada hakikatnya adalah tanggung jawab bersama pula. Artinya, semua unsur dalam masyarakat: pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, instansi atau lembaga terkait, dosen, guru, peneliti, agamawan, tokoh masyarakat, media massa, dan seluruh masyarakat Lampung harus bahu-membahu untuk pemajuan bahasa daerah Lampung dan semuanya harus terlibat secara sinergis untuk itu. n
MUHAMMAD MUIS.
Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional
Jika dalam suatu kesempatan orang berjalan-jalan ke Lampung untuk suatu keperluan, orang itu akan memperoleh kenyataan bahwa di dalam komunikasi sehari-hari akan jarang terdengar orang bertutur di dalam bahasa Lampung. Jika pun ada pertuturan di dalam bahasa daerah itu, frekuensi atau kekerapannya—boleh dikatakan—sangat kecil atau sangat jarang. Agaknya hampir-hampir dapat dihitung dengan jari orang yang bercakap-cakap di dalam bahasa ini. Yang menggunakannya pun lazimnya adalah generasi tua, bukan generasi muda. Harus diakui bahwa, jika dicermati dan diamati, di Lampung agak jarang terdengar generasi muda—orang asli Lampung ataupun, apalagi, orang bukan asli Lampung menggunakan bahasa Lampung.
Hal seperti ini sangat berbeda dengan realitas penggunaan bahasa Jawa, Sunda, Minang, dan Melayu Bangka, misalnya, di wilayah penggunaan bahasa daerah itu. Jika orang tadi—misalnya—berjalan-jalan ke Semarang, Bandung, dan Pangkalpinang, misalnya, ia akan mendapatkan perbedaan yang mencolok dengan apa yang ada di Lampung dalam hal penggunaan bahasa daerah itu.
Jika dilacak lebih lanjut, akan diperoleh kenyataan yang cukup mencengangkan juga bahwa banyak pendatang atau orang yang bukan asli Lampung yang sudah bermukim bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun, di Lampung banyak yang tidak dapat berbahasa Lampung, kecuali sepatah dua patah kata.
Apakah bahasa Lampung memang sulit untuk dikuasai ataukah ada faktor lain yang menyebabkan orang kurang tertarik untuk menggunakannya, apalagi mendalaminya? Apakah sebenarnya faktor penyebab persoalan itu?
Faktor Penyebab Bahasa Lampung Kurang Diminati
Penelitian yang komprehensif dan mendalam tentang apa penyebab kurangnya minat orang berbahasa Lampung, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia ini, setakat ini—setahu penulis—juga belum dilakukan. Oleh karena itu, kendati pun masih merupakan dugaan awal, berikut ditegaskan, antara lain beberapa faktor yang diduga kuat menjadi penyebab bahasa daerah ini kurang diminati.
Pertama, Provinsi Lampung adalah provinsi yang penduduknya heterogen. Selain penduduk asli Lampung, di provinsi ini banyak suku bangsa lain, seperti Jawa, Sunda, Minang, Bali, Melayu (misalnya Melayu Jakarta, Melayu Palembang, dan Melayu Bangka-Belitung). Kaum pendatang ini selain berbahasa daerahnya masing-masing sesama mereka, juga berbahasa Indonesia dengan kelompok suku lain. Bahkan, ada kalanya sesama suku mereka pun mereka berbahasa Indonesia.
Jarang sekali—jika pun pernah—mereka bertutur dalam bahasa Lampung. Pada satu sisi, hal itu kurang menguntungkan bagi pelestarian bahasa Lampung. Akan tetapi, pada sisi lain—untuk perkembangan dan masa depan bahasa Indonesia—hal itu sangat menguntungkan bahasa Indonesia sebab semakin hari jumlah penutur bahasa Indonesia, termasuk mereka yang sejak lahir telah menjadi penutur bahasa ibu bahasa Indonesia, semakin bertambah.
Dalam konteks itu, orang Lampung asli kurang dapat menerapkan penggunaan bahasa Lampung dengan rekannya yang bukan asli Lampung. Bahasa Lampung itu secara spesifik pada akhirnya—disetujui atau tidak—hanya dapat digunakan pada orang sesama penduduk asli atau orang Lampung yang memahaminya.
Kedua, bahasa Lampung kurang dipromosikan secara gencar, baik oleh Pemerintah Provinsi Lampung, pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Lampung, media massa, maupun dunia pendidikan. Promosi melalui jalur pariwisata, misalnya, agaknya dapat ditempuh.
Ketiga, pengajar atau guru bahasa Lampung, baik pada tingkat SD maupun SMP, saya duga masih sangat kurang. Asumsi dasar ini muncul sebab diduga guru bidang studi bahasa Lampung yang khusus mengajar bahasa ini di dunia persekolahan itu dianggap tidak memadai, terutama dari jumlah guru yang mengajar jika dibandingkan dengan rasio ribuan jumlah murid yang harus diajarkan di seluruh Provinsi Lampung.
Ketersediaan guru bidang studi bahasa Lampung yang terdidik secara khusus di dalam bahasa itu (artinya yang bersangkutan sebagai tenaga pengajar harus berijazah D-3 atau S-1 bahasa Lampung) agar dapat mengajarkan bidang studi itu dengan sebaik-baiknya merupakan conditio sine qua non. Jadi, penyediaan tenaga guru bahasa Lampung harus dapat dipenuhi sesegera mungkin. Hal ini harus dimaklumi bersama.
Keempat, Pemerintah Provinsi Lampung, pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Lampung, media massa, dunia pendidikan, dan pasar kerja belum memberikan perhatian yang maksimal kepada para lulusan perguruan tinggi yang mendalami bahasa Lampung, misalnya alumni D-3 dari Universitas Lampung (yang sayangnya program studi itu sementara ini telah ditutup). Penyerapan mereka di pasar kerja, khususnya di wilayah Provinsi Lampung, akan berpengaruh cukup signifikan bagi pengembangan, perkembangan, dan masa depan bahasa Lampung.
Kelima, penutur asli bahasa Lampung, khususnya generasi mudanya, diduga agaknya kurang bersikap positif terhadap bahasa daerah Lampung. Mereka lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia untuk keperluan komunikasi sehari-hari, yang bukan dalam konteks resmi. Beberapa penelitian, seperti Gunarwan (1994), Gunarwan (2001), dan Zawarnis dan Hasnawati Nasution (2009), setidaknya membuktikan hal itu. Untuk konteks yang tidak resmi atau di dalam percakapan sehari-hari, ada baiknya bahasa daerah ini mulai lebih digalakkan penggunaannya.
Tanggung Jawab Kebahasaan
Beberapa persoalan tersebut harus segera diupayakan pemecahannya dan dicarikan jalan keluarnya. Dengan iktikad baik dan kemauan keras yang dilakukan secara berencana, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan berbagai unsur yang relevan di dalam masyarakat, bukan sesuatu yang mustahil untuk mengatasi masalah itu.
Upaya pelestarian, pengembangan, dan pembinaan bahasa Lampung harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Usaha-usaha yang ditempuh tidak dengan sungguh-sungguh tidak akan dapat menghasilkan capaian yang maksimal!
Bahasa Lampung ini adalah milik bersama seluruh warga Lampung. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk penggunaan, pelestarian, pembinaan, dan pengembangannya pada hakikatnya adalah tanggung jawab bersama pula. Artinya, semua unsur dalam masyarakat: pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, instansi atau lembaga terkait, dosen, guru, peneliti, agamawan, tokoh masyarakat, media massa, dan seluruh masyarakat Lampung harus bahu-membahu untuk pemajuan bahasa daerah Lampung dan semuanya harus terlibat secara sinergis untuk itu. n
Langganan:
Postingan (Atom)