Senin, 28 November 2011

Ihwal Melayu dan Jalan Kemelayuan

Syaukani Al Karim


SECARA kejiwaan, seorang anak manusia, selalu merasa lebih nyaman dan terlindungi, ketika berada di tengah-tengah komunitas yang dekat dengan dirinya, seperti keluarga sedarah, kawan sekampung, teman bermain, serta hal-hal lain yang mendekatkan secara batiniah. Kondisi dan sikap inilah, yang kemudian membuat orang, sejak dahulu kala, mulai mengurus perkara puak, kaum, suku, ras, atau bani. Lalu bertebaranlah komunitas dengan dasar pengelompokan tersebut, seperti bani Isra-El, Kaum ‘Ad, Ras Arya, dan sebagainya.

Meski dunia bergerak maju secara bergemuruh, persoalan kaum dan bani, persoalan “kami” dan “kalian”, tak pernah selesai diperkatakan, bahkan ada kecenderungan semakin mengental, dengan segala klaim kesombongan yang dilekatkan. Di Amerika Serikat saja, persoalan ini baru “selesai” dalam beberapa dekade terakhir, dan itu pun masih dimainkan dengan sejumlah catatan. Di Isra-El, persoalan kaum dan bani, yang berhubungan langsung dengan agama, bahkan menjadi mata air peperangan dengan kawasan sekitarnya, yang entah bila akan berhenti menyembur.

Dalam risalahnya, Megatrend 2000, Naisbitt dan Patricia Aburdane, menyebutkan bahwa pada abad ke-21, ada kecenderungan yang kuat untuk terjadi pengelompokan gerakan ekonomi maupun politik, melalui kesamaan ras atau suku. Naisbitt menyebut bahwa MEE, AFTA, NAFTA, dan sebagainya, merupakan indikator kebenaran, di samping maraknya semangat pulang ke rumah mimpi kebudayaan masa lalu yang melanda banyak negara (atau munculnya mata uang Euro, seakan membenarkan hal itu). Jika kita lihat pula pertikaian di beberapa tempat, seperti di Afrika dan Timur Tengah dewasa ini, pada akhirnya selalu berujung pada pertarungan gengsi antar puak dan suku. Terakhir, media massa melaporkan, bahwa Jerman mulai memperkarakan ihwal eksistensi ras mereka [Arya] dalam hubungan perkauman di negara itu.

Lalu bagaimana dengan Melayu? Bagaimana dengan Riau? Siapakah Melayu? Hendak ke manakah Melayu? Pertanyaan ini sudah kita dengar berulang-ulang dari berbagai orang awam dan sejumlah kalangan lain. Terakhir, hal ini juga menjadi pertanyaan (mungkin kegelisahan) Kawan Sastrawan Marhalim Zaini, ketika menyampaikan orasi budaya, “Akulah Melayu yang Berlari”, sempena Anugerah Sagang, 28 Oktober yang lalu. Marhalim juga sempat menyebut “kacukan”, sebagai kemungkinan identitas Melayu itu sendiri.

Saya berpendapat, bahwa sebenarnya persoalan identitas dan etnisitas, bagi Melayu di Riau, sudah lama selesai. Naskah-naskah lama, katakanlah seperti Sejarah Melayu, sudah menjawab persoalan itu secara tuntas dan terang-benderang. Ketika orang Melayu melakukan kaji asal keturunannya, yang bermula dari Iskandar Zulkarnain dari Makaduniyah (Alexander the Great dari Macedonia), dari nasab Sulaiman ‘alaihis salam hingga ke Nusyirwan Adil raja masyriq dan maghrib, atau kajian akademis tentang kedatangan sang nenek moyang dari Yunan Selatan, dari Teluk Tongkin dan Selat Hoabin, maka batang tubuh Melayu yang “kacukan” sudah menemukan maqam-nya.

Saya kira, persoalan kacukan ini, bukan hanya soal Melayu, tapi juga puak lain, karena memang tidak ada yang tunggal di bawah matahari. Pun, sebuah komunitas, kaum dan bani, selalu tumbuh dan menjadi, setelah melewati “perbincangan dan perembukan” biologis nan bersilang, setidaknya itulah yang kita baca tentang ihwal keturunan dalam kisah-kisah kitab suci. Soal penyukuan, apakah Melayu, Jawa, Tapanuli, dan seterusnya, adalah soal penamaan pasca kacukan, yang dibuat berdasar atau berangkat dari sejumlah variabel non jasadi, seperti persoalan geografis, bahasa, perilaku, estetika, dan tindakan komunitas. Melayu, dengan demikian tak lagi soal tubuh, tapi lebih mengarah pada variabel dalaman.

Begitu pula hanya dengan identitas jasadi makhluk Riau. Ketika provinsi Riau berdiri pada tahun 1957, juga telah dibuat rumusan tentang siapa putra daerah, yang memuat tiga ukuran, yaitu: yang beribu-bapak Melayu, atau salah satu dari orang tuanya Melayu, atau yang lahir di Riau meski kedua orang tuanya bukan Melayu. Dengan demikian, persoalan batang-tubuh, baik Melayu, maupun Riau, sudah demikian terang, bagai bersuluh matahari.

Berangkat dari batang-tubuh Melayu yang seperti itu, maka upaya memaknai Melayu sebagai “rumah yang terbuka”, tapi bertingkap dan berdaun pintu, seperti yang disarankan oleh kawan Marhalim Zaini, adalah sesuatu yang sudah demikian adanya dalam dunia Melayu zaman berzaman. Melayu tidak pernah gamang dalam soal itu. Keberanian Demang Lebar Daun menyerahkan kuasa kepada Sang Sapurba, keberanian menjadikan Karmawijaya asal Lasem sebagai Mahapatih oleh Raja Melaka, Menjadikan Daeng Kemboja sebagai Yang Dipertuan Muda Riau (perdana menteri), menjadikan nama Tanah Datar, Pesisir, dan Lima Puluh, sebagai nama suku di Siak Sri Inderapura, dan seterusnya, menunjukkan bahwa sedikitpun tak ada kegamangan orang Melayu dalam menjadikan dirinya sebagai rumah yang terbuka. Seorang kawan, secara berseloroh mengatakan bahwa rumah Melayu itu bahkan tak berdinding, hanya berlantai, bertiang dan beratap, dan siapapun bisa masuk dari celah-celah tiang yang berbeda dan terbuka lebar, baik sekedar untuk berteduh, pun berdiam lama.

Keterbukaan orang Melayu ini terbentuk karena sejak lama orang Melayu (kemaharajaan Melayu) telah bersentuhan dengan dunia luar, misalnya ketika Melaka menjadi pusat perdagangan internasional pasca jatuhnya Konstatinopel ke tangan Turki. Begitu pula ketika Riau-Lingga menjadikan pelabuhannya, sebagai pelabuhan bebas. Kondisi itu, dan interaksi yang tumbuh akibat bertemunya sejumlah wajah dalam perdagangan, membuat masyarakat Melayu sejak masa lampau menjelma menjadi makhluk kosmopolitan yang apresiatif.

Selain itu, keterbukaan juga menjadi sifat dasar orang Melayu. Ada sejumlah kajian dan catatan yang menjelaskan tentang keterbukaan Melayu tersebut. Hasan Junus dalam bukunya Karena Emas di Bunga Lautan (Unri Press, 2002), mengutip pandangan Emanuel Godhino de Eredia yang dimuat oleh JV Mills dalam Journal of Malayan Branch of Royal Asiatic Society, terbitan April 1930. Orang Melayu, menurut Eredia, memiliki selera yang baik dalam berpakaian, apresiatif, dan menggembirakan dalam menjalin hubungan persahabatan. Lebih menyukai sesuatu yang estetis daripada saintis. Tentu saja ada pandangan-pandangan yang buruk, tapi dalam konteks keterbukaan itu, bagi Melayu, memang sudah tabiat luhur.

Lalu ke manakah kita hendak menghala atau mengheret kemelayuan ini? Dalam perbincangan-perbincangan kebudayaan di Riau, sejak tahun 1980-an, atau yang sempat saya ikuti mulai pertengahan tahun 1990-an, bahwa semangat kemelayuan tidak lagi bermain dalam ranah penetapan jasadi, tapi lebih mengarah pada tindakan-tindakan kemelayuan itu sendiri. Beberapa kalangan berpendapat, bahwa hal yang esensi dari gerakan kemelayuan, lebih menjurus, pada bagaimana agar orang Melayu dapat bertindak sebagai orang Melayu, dalam hal yang lebih subtantif, bukan sekadar berbaju kurung atau yang serba kulit lainnya. Jika secara spiritual, kemelayuan itu sudah kukuh, maka barulah balutan baju kurung berkain samping itu, terlihat elok dan sanggam.

Tindakan kemelayuan yang subtantif itu, menurut simpulan saya dari tahun-tahun perbincangan kebudayaan yang diikuti, adalah bagaimana setiap orang Melayu memasukkan kembali sikap kemelayuan (sebuah batang yang sempat terendam) ke dalam diri, seperti keberanian, kedermawanan, kebersamaan, kehormatan, toleransi, intelektualitas, dan kesungguhan atau kegigihan, sebagai jalan untuk “merebut” dan menamai kembali tanah dan sejarah, sebagai laluan menuju matlamat pengabdian kepada negeri. Sikap ini, dalam pandangan saya, sama dengan gerakan kebudayaan di Jepang, yang ingin agar masyarakat Jepang pulang ke jalan Bushi (bushi-do) dan hidup dengan semangat samurai atau semangat mengabdi (saburau), tanpa perlu setiap hari berkimono dan menonton kabuki.

Ikhtiar menjadi Melayu semacam inilah yang hendak kita lakukan, selain dari mempertahankan bahasa dan wilayah estetika lainnya. Sepanjang seseorang berikhtiar melakukan hal-hal yang inti atau sari, dari semangat kemelayuan, maka ia atau dia, sudah menjadi Melayu, meski secara jasadi sebenarnya ia belum lama singgah di rumah Melayu. Selamat menjadi Melayu.***


Syaukani Al Karim, sastrawan Riau. Bermastautin di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, 20 November 2011

Kongres Bahasa Jawa Diikuti Peserta dari Luar Negeri

SURABAYA -- Peneliti Bahasa Jawa dari Australia, Suriname (Amerika Selatan), Malaysia, dan Belanda akan mengikuti Kongres Bahasa Jawa ke-5 di Surabaya pada 27-30 November.

"Mereka akan menghadiri Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya yang dibuka Mendikbud Mohammad Nuh pada 27 November malam," kata anggota panitia bidang dokumentasi, informasi, dan publikasi kongres tersebut, Aryo Tumoro di Surabaya, Kamis.

Menurut dia, peserta KBJ-5 mencapai 600 orang, namun pembukaan akan dihadiri sekitar 1.200 orang. Mereka terdiri atas sinden, guru dan dosen/akademisi, mahasiswa, pengarang, budayawan, sastrawan, instansi, dan elemen lainnya.

"Para peserta akan dibagi dalam lima komisi yang membahas 50 makalah yang merupakan makalah terpilih dari 108 makalah yang diterima panitia, namun ada juga 25 makalah yang dimasukkan prosiding, di antaranya makalah peneliti dan pejabat," tuturnya.

"Sastra Jawa seperti tembang macapat, ilir-ilir Sunan Kalijogo, dan juga dolanan Jawa serta pengembangan Bahasa Jawa di kalangan gereja (Katolik) dan pesantren (Islam) juga akan dikaji dalam KBJ-5, termasuk pemasyarakatan Bahasa Jawa melalui media `online` (dalam jaringan)," ujarnya, menjelaskan.

Ia menambahkan pelaksanaan KBJ sudah berlangsung lima kali yakni KBJ-1 dilaksanakan di Semarang (Jateng), KBJ-2 di Batu (Jatim), KBJ-3 di Yogyakarta, KBJ-4 di Semarang (Jateng), dan KBJ-5 di Surabaya (Jatim).

Sumber: Antara, Kamis, 24 November 2011

Kamis, 24 November 2011

Kitab Kuntara Rajaniti


Boleh jadi Kitab Kuntara Rajaniti merupakan kitab zaman silam di Lampung yang paling lengkap isinya. Banyak pihak yang mengaku menyimpan kitab ini, tetapi sejauh itu belum ada yang mentranskrip serta mentranslitasinya, sehingga isinya masih tetap saja gelap. Para pemilik nampaknya masih belum memiliki keternukaan kepada para peneliti untuk melakukan penelitian terhadap kitab tua ini guna kepentingan umum.
Dan nampaknya kitab ini juga luput dari upaya Inventarisasi Benda Cagar Budaya (IBCB) yang dilaksanakan selama beberapa tahun era akhir 80-an dan awal 90-an. Proyek yang didanai oleh APBN itu memang tidak maksimal menginventarisasi berbagai naskah kuno yang ada di lampung, tim lebih banyak emginventarisasi artefak yang insitu. Pemegang naskah kuno cenderung merahasiakan kepemilikannya terhadap benda itu.
Nampaknya kurang matang dalam sosialisasi Undang Undang Benda Cagar Budaya (BCB) sehingga para pemegang naskah cenderung merahasiakan kepemilikan terhadap berbagai naskah kono. Mereka pastinya menghawatirkan benda benda penting itu akan diambil alih oleh Pemerintah. Sementara kepemilikan terhadap benda itu justeru dianggap penting sebagai bukti syah akan hak kewarisan tahta kebuayan dan bahkan eksistensi dari kebuaian itu sendiri.
Sebagaimana gejala yang ada bahwa hanya masing masing pewaris kebuayan yang berusaha menjaga dan mempertahankan eksistensi kebuayan masing masing, sekalipun bukan berarti menidakkan kebuaian yang lainnya. Seyogyanya masyarakat mentradisikan untuk memuliakan semua kebuayan yang ada, serta membuka berbagai bukti bukti sejarah yang mereka miliki guna kepentingan kemajuan sejarah daerah Lampung secara keseluruhan.
Kitab Kuntara Rajaniti, seperti yang diekspose oleh Susilowaty melalui Begawi Hehamma Blog, yaitu blog yang dikelolanya. Kitab Kuntara Raja Niti merupakan kitab adat yang menjadi rujukan bagi adat istiadat orang Lampung. Kitab ini digunakan hampir tiap-tiap subsuku Lampung, baik Pepadun maupun Pesisir. Di masing-masing kebuaian (keturunan) dari subsuku tersebut pun mengakui kalau Kuntara Raja Niti adalah kitab rujukan adat Lampung.

Sayangnya, tidak semua punyimbang (pemangku adat) menyimpan manuskrip kitab tersebut. Apalagi masyarakat Lampung kebanyakan. Karena kekayaan peninggalan adat, baik yang berupa benda maupun tulisan biasanya berada di kediaman pemangku adat dari setiap kebuaian. Jika di tempat pemangku adat tidak ada, kecil kemungkinan akan didapat di tempat lain.

Sebagian para punyimbang di daerah Kotaagung mengakui kalau yang dijadikan rujukan adat istiadat mereka adalah kitab Kuntara Raja Niti, tapi mereka tidak memiliki manuskripnya. Konon manuskrip kitab tersebut telah terbakar di daerah muasal mereka, yaitu Liwa. Mereka menerima peraturan adat istiadat secara turun temurun dari pemangku adat dan tua-tua sebelumnya. Mereka menurunkan kepada generasi berikutnya pun secara lisan pula.

Sedangkan untuk daerah Kurungan Nyawa, adat istiadat mereka, baik tata cara kehidupan sehari-hari maupun acara seremonial merujuk pada kitab Kuntara Raja Niti yang sudah mengalami banyak revisi sesuai dengan tuntutan zaman. Revisi ini dilakukan oleh para pemangku adat demi keberlangsungan adat itu sendiri. Sehingga tidak menyusahkan masyarakat adat sebagai para pelaku adat. Kitab Kuntara Raja Niti yang ada di sana sudah berupa draf peraturan adat yang di ketik dan difotokopi yang sudah mengalami perubahan dan penyesuaian melalui musyawarah-musyawarah adat. Sedangkan manuskripnya tidak ada lagi.

Untuk daerah Krui yang mempunyai 16 marga, para punyimbang juga mengakui kalau Kuntara Raja Niti adalah kitab adat yang berlaku di sana. Tapi hingga kini para punyimbang pun tidak tahu keberadaannya. Adat istiadat yang dipakai selama ini ditularkan melalui lisan secara turun-temurun pula. Selain Kuntara Raja Niti, di Pesisir Krui juga adat istiadatnya berdasarkan Kitab Simbur Cahya yang dipakai masyarakat adat Sumatera bagian Selatan. Para punyimbang di Krui juga sudah tidak tahu lagi akan keberadaan Kitab Simbur Cahya (KSC).

Lalu, daerah Pubian Telusuku, menggunakan Kitab Ketaro Berajo Sako (KKBS). Kitab tersebut dialihaksarakan sekaligus diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh H.A. Rifai Wahid (almarhum). Semasa hidupnya, penerjemah mengatakan kitab tersebut juga merujuk kepada Kuntara Raja Niti. Sedang manuskrip Kuntara Raja Niti bisa didapat di kediaman Hasan Basri (alm.), yang bergelar Raden Imba atau secara adat disebut Dalom Kusuma Ratu. Ia merupakan keturunan Ratu Darah Putih, asal muasal dari Raden Intan II. Kediamannya di Desa Kuripan, Penengahan, Lampung Selatan. Manuskrip tersebut bernama lengkap kitab Kuntara Raja Niti dan Jugul Muda. Ditulis sekitar abad ke-17--18. Ini bisa dilihat dari jenis tulisan yang digunakan.

Kitab Kuntara Rajaniti yang diwariskan oleh Ratu darah Putih ditulis dengan hurup pegon atau pego’ yaitu aksara Arab berbahasa Banten, namun Kitab itu memang diperuntukkan bagi anak keturunan darah Putih. Kopy kitab ini pernah dipamerkan pada waktu Pameran Pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah Provinsi sekitar 10 tahun yang lalu, dan ada beberapa pengunjung stand Pemerintah Lampung selatan yang diberikan kesempatan untuk mengkopynya. Kitab itulah nampaknya yang beredari di tangan masyarakat umum, tetapi hingga sekarang belum ada yang mentranskrip dan mentransliterasinya, serta mempublikasikannya.

Tetapi melalui blognya Susilawati menuliskan prihal Kitab Kuntara Tajaniti ini antara lain diceritakan bahwa kitab itu dibagi dalam dua bagian, bagian pertama ditulis dengan aksara Lampung kuno, bagian kedua ditulis dengan huruf pegon. Sebagian dari rujukan penulisan kitab itu sendiri sebenarnya adalah perundang undangan yang pernah diberlakukan di majapahit, lalu penulisan itu dimaksudkan sebagai kitab undang undang yang akan diberlakukan baik di Banten maupun di Lampung sendiri, sehingga Lampung dan banten memiliki rujukan undang undang sama.

Kesamaan antara Lampung dengan Banten adalah kepenganutan terhadap agama Islam. Walaupun bagaimana Kesultanan Banten didirikan bukan semata dalam rangka mempertahan kedaulatan wilayah, tetapi juga yang lebih penting adalah penyiaran agama Islam. Oleh karenanya maka kitab yang mereka tulis tentu saja harus merujuk kepada ajaran agama Islam. Pebgaruh islam disini bukan hanya akan tampak pada isinya, tetapi yang sangat jelas sekali adalah penggunaan aksara pegon, yang berbasis huruf Arab, adalah bukti yang tidak terbantahkan akan pengaruh Islam serta kegiatan dakwah di wilayah Banten dan lampung.

Pengaruh Islam di Lampung nantinya juga akan terbukti dengan berubahnya nama dari “PIIL menjadi PIIL PESENGGIRI”. Bukan hanya sebuah perubahan nama, tetapi isi dari piil pesenggiri atas pengaruh Islam telah berubah 180 derajat.

Rabu, 16 November 2011

NASKAH SYA'IR LAMPUNG KARAM


SYA’IR LAMPUNG KARAM

Orang banyak nyatalah tentu
Bilangan lebih daripada seribu
Mati sekalian orangnya itu
Ditimpa lumpur, api dan abu

Pulau sebuku dikata orang
Ada seribu lebih dan kurang
Orangnya habis nyatalah terang
Tiadalah hidup barang seorang

Rupanya mayat tidak dikatakan
Hamba melihat rasanya pingsan
Apalah lagi yang punya badan
Harapkan rahmat Allah balaskan.

Naskah berjudul Syair Lampung Karam
Karya : Muhammad Saleh.
Latar belakang Tsunami dan meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883
Dicetak dengan menggunakan aksara Jawi (tulisan Arab berbahasa Indonsia / Melayu)

Naskah ini ditemukan oleh seorang ahli filologi Suryadi, seorang dosen Leyden University 127 tahun kemudian. Naskah langka ini telah berserakan halaman halamannya di lima Negara yaitu Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia dan Indonesia. Naskah ditulis dengan latar belakang pristiwa tsunami pertama di Indonesia, yaitu tsunami yang muncul akibat meletusnya Krakatau (Krakatoa, Carcata)


Sebagaimana kita ketahui bahwa letusan gunung Krakatau yang terjadi pada tanggal 26, 27 dan 28 Agustus 1883 itu adalah letusan yang sangat dahsyat, hempasan ombak besar akibat tsunami pada saat itu mencapai hingga dibeberapa Negara di belahan Eropa. Itulah sebabnya serentak masyarakat menulis dan mempublikasikan tulisan itu di media massa selama berhari hari secara berturut turut atau dicetak dalam bentuk buku untuk umum. Tulisan mengenai meletusnya Gunung Krakatau ini dalam berbagai versi diperkirakan mencapai ribuan naskah.

Namun walaupun demikian ada satu naskah yang terlewatkan, yaitu naskah lampung Karam yang ditulis oleh Muhammad Shaleh, naskah ini dicetak di Singapura dalam bentuk buku saku dengan menggunakan Aksara Jawi, Yaitu tulisan Arab dengan bahasa Indonesia/ melayu. Pada saat itu dengan telah masuknya agam Islam di Indonesia maka huruf Jawi sangat lazim digunakan untuk berbagai aktivitas pebulisan dan percetakan serta komunikasi lainnya.


Sebuah besi besar yang oleh masyarakat disebut Bom terhampar didataran Telukbetung Bandar Lampung, benda raksasa ini sebenarnya adalah besi tambatan kapal di pelabuhan, diketemukan di Taman Dipangga depan Kantor Polda Lampung, kini telah dipindahkan di Museum Ruwa Jurai Lampung. Masid Al-Anwar yang terletak di Jl. Malahayati Telukbetung, luluhlantak diterjang Tsunami Krakatau tahun 1883. Mesjid tersebut telah di bangun kembali dan tetap berdiri hingga sekarang.

Banyak saksi bisu pristiwa pristiwa tsunami Karakatau ini, itulah sebabnya karya Muhammad Shaleh dengan judul Lampung Karam tersebut diatas menjadi istimewa karena Muhammad Shaleh adalah saksi mata pristiwa yang menelan kurban nyawa mencapai 30.000-an orang itu. Walaupum yang bersangkutan hanya sempat melihat dan memperkirakan sekitar seribuan orang yang terkubur di pulau Sebuku.

Kita menduga sipenulis melihat langsung pristiwa itu, dan Ia sendiri selamat dari amukan ombak, tetapi Ia pindah ke Bangkahulu Singapura, tulisannya baru dicetak setelah tiga tahun dari pristiwa. Mungkin tidaklah banyak eksemplar yang diterbitkan, sehingga naskah itu tercerai berai hingga ke lima Negara. Tetapi sejauh itu penulis tidak menceritakan berada di posisi mana sebenarnya Ia ketika peristiwa yang mengerikan ini terjadi.

Kalaupun aksara yang digunakan itu aksara Jawi, hal tersebut tidaklah mengherankan karena pada abad ke 18 memang Kitab Kitab yang ditulis oleh para ulama Nusantara sudah banyak beredar, dan walaupun pada umumnya masyarakat masih buta huruf, tetapi mereka tidak buta huruf al-Quran. Itulah sebabnya karya karya besar para ulama Nusantara ditulis dengan menggunakan huruf Jawi ini.

Berdasarkan cerita turun temurun bahwa masyarakat Telukbetung sekitar tahun 1880-an kedatangan seorang ulama bernama Ahmad Shaleh, beliau adalah ahli agama, dia seorang ulama, yang oleh masyarakat sekitar di Telukbetung memanggil beliau sebagai Tuan Penghulu, beliau adalah salah satu plopor pembangunan masjid Al-Anwar tersebut di atas. Tetapi apakah Amad Sholeh yang ini yang menulis naskah lampung karam. Wallohua’lam bishowab.

Minggu, 13 November 2011

KOMUNIKASI : Bahasa Daerah Tembus Dunia Digital

Lampost Minggu, 13 November 2011

BANDAR LAMPUNG—Bahasa daerah ternyata mampu mengikuti perkembangan zaman. Beberapa situs di dunia maya, seperti pada situs ensiklopedia bebas Wikipedia, banyak artikel yang dibuat berbahasa daerah seperti Jawa, Sunda, Banyumas, Aceh, dan Banjar.

Sebagai ensiklopedi yang mengandalkan inisiatif sukarelawan, perintisan artikel dalam berbagai bahasa daerah ini tidaklah mudah. Wikipediawan bahasa Jawa, Prasetyo (61) dan Ichsan Mochtar (39), harus memutar otak untuk menambah jumlah artikel. "Dulu kontributor aktifnya cuma tiga orang. Jumlah artikelnya juga masih sedikit," kata Pras, Sabtu (12-11).

Untungnya dengan mengadakan lomba menulis artikel bernama Papad Limpad pada Maret 2011, mereka berhasil meningkatkan minat masyarakat untuk berkontribusi di Wikipedia. Kini jumlah artikel berbahasa Jawa mencapai lebih dari 37 ribu dengan 13 wikipediawan aktif.

Bagi Pras, menulis artikel di dunia maya merupakan sebuah upaya pelestarian bahasa.

"Sebagai bahasa percakapan, bahas Jawa memang masih banyak digunakan, tapi tidak ditulis. Nah, kalau tidak dituliskan, saya dan teman-teman khawatir bahasa ini akan punah," kata Pras.

"Menulis artikel di Wikipedia ini sama halnya membuat sebuah prasasti era modern yang bisa dibaca banyak orang. Sampai kapan pun, selama situs ini ada, kita masih bisa melestarikannya," kata Ichsan.

Meramu bentuk tulis, Pras dan kawan-kawan juga mengaku mempunyai hambatan. Pertama, karakter bahasa Jawa mengenal bahasa kromo (halus) dan ngoko (rakyat biasa). Pengucapan dan penulisannya pun kadang berbeda hingga kadang bermakna ambigu.

Belum lagi kata-kata baru dalam dunia teknologi atau ilmu pengetahuan membuat wikipediawan sulit menemukan kata yang pas dalam bahasa Jawa. Misalnya dalam artikel tentang internet, dikenal istilah login dan logout.

Karena tak ada padanan katanya, wikipediawan memutuskan untuk menggunakan istilah mlebulog dan metulog. Pada bahasa Jawa, mlebu berarti ‘masuk’ dan metu berarti ‘keluar’.

"Misalnya ada juga istilah page diganti dengan kaca, link diganti pranala, delete diganti busak, dan footnote diganti jadi catetan sikil," ujar Pras.

Sebagai pengguna internet, Nunung Martina mengaku sangat mengapresiasi upaya wikipediawan ini. Dia yang asli Jawa malah tak pernah menulis dalam bahasa ibunya itu. "Setelah melihat banyak artikel berbahasa Jawa, saya jadi terdorong untuk lebih mengenal lebih jauh bahasa sendiri. Sekarang anak saya sudah mulai diajari lagi bahasa Jawa. Untungnya dia tertarik." BAHASA LAMPUNG...Hlm.2

Minggu, 06 November 2011

Mengenal Aksara Sunda Kuno (Ngalagena)

oleh UNTAIAN MUTIARA NUSANTARA

Dalam Sejarah


Aksara Sunda disebut pula aksara Ngalagena.Menurut catatan sejarah aksara ini telah dipakai oleh orang Sunda dari abad ke -14 sampai abad ke- 18.Jejak aksara Sunda dapat dilihat pada Prasasti Kawali atau disebut juga Prasasti Astana Gede yang dibuat untuk mengenang Prabu Niskala Wastukancana yang memerintah di Kawali, Ciamis, tahun 1371-1475. Prasasti Kebantenan yang termaktub dalam lempengan tembaga, berasal dari abad ke-15, juga memakai aksara Sunda Kuno.
Berikut Prasasti Kawali dengan aksara Sunda Kuno (GAMBAR 1) :

Tak ada bukti yang jelas tentang awal mula aksara Sunda lahir, sejak kapan nenek moyang orang Sunda menggunakan aksara ini. Yang jelas, sebelum abad ke-14, kebanyakan prasasti dan kropak (naskah lontar) ditulis dalam aksara lain, seperti aksara Pallawa (Prasasti Tugu abad ke-4) dan aksara Jawa Kuno (Prasasti Sanghyang Tapak abad ke-11). Bahasanya pun Sansekerta dan Jawa Kuno bahkan Melayu Kuno. Baru pada abad ke-14 dan seterusnya, aksara Sunda kerap dipakai dalam media batu/prasasti dan naskah kuno.

Sama seperti naskah-naskah kuno di Jawa, yang menjadi media naskah kuno Sunda adalah daun (ron) palem tal (Borassus flabellifer)—di sinilah lahir istilah rontal atau lontar—atau juga daun palem nipah (Nipa fruticans), di mana masing-masing daunnya dihubungkan dengan seutas tali, bisa seutas di tengah-tengah daun atau dua utas di sisi kanan dan kiri daun. Penulisan dilakukan dengan menorehkan peso pangot, sebuah pisau khusus, pada permukaan daun, atau menorehkan tinta melalui pena. Tintanya dari jelaga, penanya dari lidi enau atau bambu. Biasanya peso pangot untuk huruf-huruf persegi, sementara tinta-pena untuk huruf-huruf bundar.

Naskah-naskah kuno Sunda yang memakai aksara Sunda Kuno dan juga bahasa Sunda Kuno di antaranya Carita Parahyangan (dikenal dengan nama register Kropak 406) yang ditulis pada abad ke-16. Ada hal yang menarik dalam Carita Parahyangan ini, di mana di dalamnya terdapat dua kata Arab, yaitu dunya dan niat. Ini menandakan bahwa persebaran kosa kata Arab, dengan Islamnya, telah merasuk pula ke dalam alam bawah sadar penulis carita tersebut. Begitu pula naskah Bujangga Manik dan Sewaka Darma yang ditulis pada masa yang tak jauh beda, yang keduanya mengisahkan perjalanan spiritual sang tokoh dalam menghadapi kematian, ketika raga wadag (tubuh) meninggalkan alam fana, yang dibungkus dalam sebuah sistem religi campuran antara Hindu, Buddha, dengan kepercayaan Sunda asli.

Judul yang lain adalah Sanghyang Sisksakanda (ng) Karesian (disebut pula Kropak 603), sebuah naskah tentang keagamaan dan kemasyarakatan yang ditulis pada 1518 M. Ada pula naskah Amanat Galunggung (disebut pula Kropak 632 atau Naskah Ciburuy atau Naskah MSA) yang naskahnya baru diketemukan 6 lembar, yang membahas mengenai ajaran moral dan etika Sunda. Usia naskah ini ditenggarai lebih tua dari Carita Parahyangan; hal ini terbukti dari ejaannya, seperti kwalwat, gwareng, anwam, dan hamwa (dalam Carita Parahyangan dieja: kolot, goreng, anom, dan hamo).
Berikut naskah Sewaka Darma (GAMBAR 2).

Naskah-naskah keagamaan tersebut biasa ditulis di sebuah kabuyutan atau mandala, yakni pusat keagamaan orang Sunda yang biasanya terletak di gunung-gunung, yang juga merupakan pusat intelektual. Gunung Galunggung, Kumbang, Ciburuy, dan Jayagiri merupakan contoh dari kabuyutan tersebut. Kini peranan kabuyutan digantikan oleh pesantren.

Setelah islamisasi, keberadaan aksara Sunda makin tergeser. Lambat-laun, aksara Arab-lah yang mendominasi dunia tulis menulis, yang dikenal dengan huruf pegon. Otomatis, para pujangga dan penulis tak lagi menggunakan aksara Sunda. Hal ini terlihat dari penggunaan huruf Arab dalam naskah Sajarah Banten yang disusun dalam tembang macapat pada tahun 1662-1663, di mana Kesultanan Banten baru saja seabad berdiri. Naskah-naskah lain yang memakai huruf pegon adalah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis pada abad ke-18, sedangkan bahasa yang digunakan adalah Jawa.

Pemakaian aksara Sunda makin terkikis setelah aksara latin diperkenalkan oleh bangsa-bangsa Eropa pada masa kolonialisasi pada abad ke-17 hingga seterusnya. Tak hanya itu, penguasaan Mataram Sultan Agung atas wilayah-wilayah Sunda pada abad yang sama mengakibatkan sastra-sastra Sunda lahir dengan memakai aksara Jawa atau Jawa-Sunda (carakan), bukan aksara Sunda. Contoh naskah Sunda yang ditulis menggunaka bahasa dan aksara carakan adalah Babad Pakuan atau Babad Pajajaran yang ditulis pada 1816, di mana terdapat kisah Guru Gantangan, pada masa pemerintahan Pangeran Kornel (Aria Kusuma Dinata), Bupati Sumedang. Isi babad ini menggambarkan pola pikir masyarakat Sunda atas kosmologi dan hubungannya antara manusia sempurna dengan mandala kekuasaan.

Sistem Aksara Sunda
Aksara Sunda berjumlah 32 buah, terdiri atas 7 aksara swara atau vokal (a, é, i, o, u, e, dan eu) dan 23 aksara ngalagena atau konsonan (ka-ga-nga, ca-ja-nya, ta-da-na, pa-ba-ma, ya-ra-la, wa-sa-ha, fa-va-qa-xa-za). Aksara fa, va, qa, xa, dan za merupakan aksara-aksara baru, yang dipakai untuk mengonversi bunyi aksara Latin. Secara grafis, aksara Sunda berbentuk persegi dengan ketajaman yang mencolok, hanya sebagian yang berbentuk bundar.

Aksara swara adalah tulisan yang melambangkan bunyi fonem vokal mandiri yang dapat berperan sebagai sebuah suku kata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Berikut tabel aksara swara Sunda (GAMBAR 3) :

Sedangkan aksara ngalagena adalah tulisan yang secara silabis dianggap dapat melambangkan bunyi fonem konsonan dan dapat berperan sebagai sebuah kata maupun sukukata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Setiap konsonan diberi tanda pamaeh agar bunyi ngalagena-nya mati. Dengan begitu,aksara Sunda ini bersifat silabik, di mana tulisannya dapat mewakili sebuah kata dan sukukata. Berikut tabel aksara ngalagena Sunda (GAMBAR 4) :

Ada pula para penanda vokal dalam aksara Sunda, yakni: panghulu (di atas), panyuku (di bawah), pemepet (di atas), panolong (di kanan), peneleng (di kiri), dan paneuleung (di atas). Berikut penanda vokal dalam sistem aksara Sunda (GAMBAR 5) :

Selain pamaeh konsonan, ada pula variasi fonem akhiran, yakni pengecek (akhiran –ng), pangwisad (akhiran –h), dan panglayar (akhiran –r). Ada pula fonem sisipan yang disimpan di tengah-tenngah kata, yakni pamingkal (sisipan –y-), panyakra (sisipan –r-), dan panyiku (sisipan -l-). Berikut tabel variasi fonem sisipan dan akhiran beserta tanda pamaeh dalam aksara Sunda

Jumat, 04 November 2011

NASKAH PRASASTI BATU BERTULIS DI LAMPUNG

Disarikan dari berbagai sumber.



Prasasti batu Bertulis adalah merupakan naskah tulis, produk era masyarakat yang telah mengenal aksara dan kegiatan tulis menulis. Prasasti memiliki pran yang sangat penting dalam membawakan informasi kepada masyarakat, terutama masyarakat generasi yang kemudian. Tentu apa yang tertulis dalam prasasti itu merupakan aktivitas yang selanjutnya dapat diketahui dan menjadi pelajaran bagi semua. Apalagi prasasti itu pada umumnya dikeluarkan secara resmi oleh Pemerintah yang berkuasa, atau pihak pihak yang memiliki cita cita. sehingga layak menjadi catatan sejarah.
Prasasti Prasasti ini juga mempermaklum perihal kekuasaan, penguasa, system pemerintahan serta dinamika masyarakat yang terangkum dalam prasasti itu akan menjadi catatan sejarah dan sekaligus untuk memahami identitas penduduk negeri ini. Itulah makna penting prarasasti yang ada beberapa diantaranya terdapat diwilayah Provinsi lampung. isi prasasti di Lampung mulai dari kutykan dari penguasa sampai dengan naskah doa doa. Sayang sekali sebagian besar dari naskah batu bertulis di Lampung ini sudah usang termakan usia, sehingga isi naskah yang tertulis itu tidak dapat terbaca secara lengkap, sehingga sulit bagi kita untuk memahami isinya.

Dalam penelitian arkeologi dan sejarah, prasati sering berperan sebagai sumber sezaman yang amat penting. Karena memberikan sejumlah informasi mengenai aspek-aspek kehidupan masyarakat lampau. Dari Daerah Lampung, sampai saat ini telah ditemukan 9 prasasti yang berasal dari zaman Hindu-Budha, meliputi kurun waktu abad ke 7 sampai 15 Masehi. Kesembilan prasasti tersebut adalah:

1. Prasasti Palas Pasemah (akhir abad ke 7)

Prasasti ini telah diketahui keberadaannya pada tahun 1958, di Desa Palas Pasemah dekat Kalianda Kabupaten Lampung Selatan. Prasasti ini ditulis dalam 13 baris, berhuruf Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno. Isinya hamper sama dengan isi prasasti Karang Brahi dari Daerah Jambi, Prasasti Kota Kapur dari Bangka dan Prasasti Bungkuk dari Daerah Lampung Timur, yang berisi kutukan yang tidak patuh dan tunduk kepada penguasa Sriwijaya. Prasasti ini tidak berangka tahun, namun berdasarkan Paleografinya dapat pada akhir abad ke 7.

Prasasti ini ditemukan di tepi Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 1957. Sampai sekarang, prasasti ini masih terletak di daerah ini (in situ). Prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Jawa Kuno, tidak memuat angka tahun. Berdasarkan palaeografi (ilmu tentang tulisan kuno), prasasti ini diduga berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi. Prasasti Palas Pasemah terdiri dari 13 baris hampir sama dengan Prasasti Karang Brahi dan Kota Kapur, memuat kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya.

Teks Prasasti Palas Pasemah

(1) siddha kitaŋ hamwan wari awai. kandra kayet. ni pai hu [mpa an] (2) namuha ulu lawan tandrun luah maka matai tandrun luah wi [nunu paihumpa] (3) an haŋkairu muah. kayet nihumpa unai tunai. umenteŋ [bhakti ni ulun] (4) haraki unai tunai. kita sawanakta dewata maharddhika san nidhana maŋra [ksa yaŋ kadatuan] (5) di sriwijaya. kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mula yaŋ parssumpaha [n parawis. kada] (6) ci uraŋ di dalaŋna bhumi ajnan kadatuanku ini parawis. drohaka wanu [n. samawuddhi la] (7) wan drohaka. manujari drohaka. niujari drohaka. tahu din drohaka [. tida ya marpadah] (8) tida ya bhakti tatwa arjjawa di yaku dnan di yaŋ nigalar kku sanyasa datua niwunuh ya su [mpah ni]….

Terjemahan oleh Boechari:

(1-4). ….Wahai sekalian dewa, yang maha kuat, yang melindungi (kerajaan) (5) Sriwijaya, wahai, para jin air dan semua dewa pemula rafal kutukan (jika) (6) Ada orang di seluruh kekuasan yang tunduk pada kerajaan yang memberontak, (berkomplot dengan) (7) Pemberontak, bicara dengan para pemberontak, tahu pemberontak (yang tidak menghormatiku) (8) Tidak tunduk takzim dan setia padaku dan bagi mereka yang yang dinobatkan dengan tuntutan datu, (orang-orang tersebut) akan terbunuh oleh (kutukan)….

2. Prasasti Bungkuk (akhir abad ke 7)

Ditemukan pada tahun 1985, di Desa Bungkuk, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur. Prasasti ini seluruhnya terdiri dari 12 dan 13 baris tulisan berhuruf Pallawa dan Melayu Kuno. Keadaanya sudah sangat aus dan rusak, beberapa baris pertama dan terakhir tidak dapat dibaca sama sekali. Dari baris-baris yang dapat dibaca isinya berupa kutukan yang sama dengan yang terdapat pada prasasti Palas Pasemah. Prasasti Karang Brahi dan Prasasti Kota Kapur merupakan Prasasti Sriwijaya dari akhir abad ke 7.


4. Prasasti Hujunglangit/Bawang (akhir abad ke 10)

Prasasti ini terdapat di Desa Hanakau, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat. Penemuan pertama kali dilaporkan oleh petugas dinas Topografi yang mengadakan pemetaan pada tahun 1912. Oleh Tim Epigrafi Dunia Purbakala, prasasti ini disebut juga prasasti Bawang, karena tempat penemuannya berada di wilayah Bawang. Prasati ini disebut juga Prasasti Hujunglangit yaitu berdasarkan nama tempat yang disebutkan di dalam prasasti tersebut.
Batu prasasti berbentuk menyerupai kerucut dengan ukuran tinggi dari permukaan tanah 160 cm, lebar bawah 65 cm, lebar atas 25 cm. Bagian yang ditulisi prasasti permukaannya hampir rata, terdiri dari 18 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno.
Dari akhir abad ke 10, prasasti ini sudah aus dan tulisannya sangat tipis sehingga sulit untuk pembacaan yang menyeluruh. Berdasarkan asalnya, kata Sa – tanah dan sahutan dengan nama tempat Hujunglangit, dapat member petunjuk bahwa prasasti berkaitan dengan penetapan suatu daerah menjadi sima, daerah perdikan, seperti yang terdapat pada prasasti-prasasti yang ada di zaman Hindu-Budha.
Penetapan suatu daerah menjadi sima, umumnya berkenaan dengan adanya suatu bangunan suci yang terdapat di suatu daerah. Di atas bidang yang tertuilis ada gambar pisau belati, ujung belati menghadap ke kanan. Gambar pisau belati ini serupa dengan belati tinggalan kerajaan Pagaruyung yang diberi nama Si Madang Sari. Menurut dinamis, belati dari Pagaruyung ini dibuat pada abad XIV M, jadi sekitar 300 tahun lebih muda dari prasasti Hujunglangit. Relief pisau dijumpai pula pada Candi Panataran, yang bentuknya serupa dengan belati Si Madang Sari.

5. Prasasti Tanjung Raya I (sekitar abad ke 10)


Batu tertulis berbentuk lonjong berukuran panjang 237 cm, lebar di bagian tengah 180 cm dan tebal 45 cm. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1970 di Desa Tanjung Raya I, Kecamatan Sukau Lampung Barat. Prasasti dituliskan pada bagian permukaan batu yang keadaannya sudah aus dan rusak, terdiri dari 8 baris dan sulit dibaca namun masih dapat dikenal sebagai huruf Jawa Kuno dari abad ke 10. Pada bagian atas terdapat sebuah gambar berupa sebuah bejana dengan tepian yang melengkung keluar sehelai daun. Mengingat sulitnya pembacaan prasasti ini maka isinya belum diketahui.

6. Prasasti Ulubelu (abad ke 14)
Prasasti dipahatkan pada sebuah batu kecil berukuran 36 x 12,5 cm, terdapat 6 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ditemukan di Ulebelu, Rebang Pugung, Kabupaten Tanggamus pada tahun 1934. Sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Keadaan prasasti sudah tidak utuh, bagian ujung kiri dan kanan telah patah sehingga beberapa kata dan huruf sebagian hilang. Isinya berkenaan dengan pemujaan terhadap Trimurti (Batara Guru, Batara Brahma, Batara Wisnu). Diperkirakan berasal dari abad ke 14 M.

7. Prasasti Batu bedil


Prasasti berada pada kompleks situs megalitik batu bedil, pada lahan seluas 100 x 50 m. Kompleks ini berada di lahan datar yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Oleh Pemerintah Daerah Lampung, di lahan ini telah dibuat taman yang dilengkapi dengan jalan setapak, tempat beristirahat, dan rumah informasi. Kompleks Batu Bedil I atau Kompleks Megalitik dan Prasasti juga telah di pagar kawat. Pemagaran ini dilakukan oleh P3SPL (Proyek Pelaksana Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Lampung) pada tahun 1991.

Pintu masuk lahan berada di sebelah selatan. Pada lahan ini selain terdapat prasasti juga terdapat sekelompok menhir yang membentuk formasi segiempat. Selain itu di lokasi ini juga terdapat sebaran batu-batu besar.
Prasasti berada pada titik koordinat 05°18,637’ LS dan 104°42,041’ BT (pembacaan dengan GPS Garmin V). Prasasti dituliskan pada sebongkah batu berukuran panjang 185 cm, lebar 72 cm, tebal 55 cm. Tulisan prasasti digoreskan pada bagian batu yang menghadap ke utara. Prasasti terdiri 10 baris dengan tinggi huruf sekitar 5 cm. Tulisan tersebut berada dalam satu bingkai. Pada bagian bawah bingkai terdapat goresan membentuk padma atau bunga teratai. Kondisi huruf sudah aus sehingga banyak huruf yang sudah tidak terbaca lagi.
Di sebelah barat prasasti terdapat 14 menhir yang membentuk formasi segi empat. Menhir-menhir tersebut merupakan batu alam yang tidak menunjukkan tanda-tanda pengerjaan oleh manusia. Selain menhir di lahan ini juga terdapat sejumlah batu besar. Dilihat dari bentuknya batu-batu tersebut kemungkinan sebagai menhir maupun dolmen. Berdasarkan pengamatan terhadap permukaan tanah didapatkan adanya temuan artefaktual berupa pecahan keramik dan tembikar.
Sebaran batu yang terdapat di daerah Batu Bedil ini juga dapat ditemukan di beberapa lokasi di luar lahan berpagar. Di sebelah barat pagar Kompleks Prasasti berjarak sekitar 50 m terdapat batu lumpang, yang oleh masyarakat dinamakan Batu Lesung. Selain itu di dekat Batu Lesung juga terdapat 3 batu datar. Selain itu di sebelah selatan pagar berjarak sekitar 50 m terdapat sebaran batu alam yang mengelompok. Sebaran batu tersebut berada di kebun kopi milik penduduk setempat.
Tulisan pada prasasti Batu Bedil sudah sangat aus sehingga sulit dibaca. Berdasarkan perbandingan hurufnya, prasasti Batu Bedil diperkirakan berasal dari akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10. Beberapa kata yang terbaca adalah Namo Bhagawate pada baris pertama dan Swâhâ pada baris kesepuluh. Menurut Soekmono berdasarkan kata-kata tersebut menunjukkan bahwa prasasti Batu Bedil berisi tentang mantra agama Buda atau Siwa (Soekmono, 1985: 49 – 50). Dengan demikian Prasasti Batu Bedil dan Prasasti Ulu Belu menunjukkan adanya persamaan yaitu berisi tentang mantra.
Lokasi ditemukannya Prasasti Batu Bedil berada pada lahan yang dibatasi dua sungai. Tinggalan arkeologis yang ditemukan di kawasan antara dua sungai tersebut terdiri tiga klaster. Klaster pertama adalah Batu Bedil I berupa sekumpulan menhir, batu datar, dan prasasti. Klaster kedua adalah Batu Bedil II dengan tinggalan berupa menhir, dolmen, batu bergores, dan lumpang batu. Batu Bedil I dan Batu Bedil II mungkin merupakan satu kesatuan. Aktivitas masyarakat sekarang mengakibatkan terpisahnya antara Batu Bedil I dan Batu Bedil II. Klaster ketiga adalah situs Batu Gajah. Di situs ini terdapat tinggalan berupa menhir, batu gajah, dan batu kerbau.
Antara isi prasasti Batu Bedil dengan tinggalan arkeologis yang lain terlihat ada kesesuaian yaitu menyangkut aspek religi. Menhir, batu gajah, dan batu kerbau menunjukkan tinggalan yang ada kaitannya dengan kepercayaan tradisi megalitik. Menhir ialah batu tegak yang sudah dikerjakan atau belum dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati arwah nenek moyang dan pengharapan kesejahteraan bagi yang masih hidup (Soejono, 1990: 213). Menhir dapat berdiri tunggal maupun berkelompok membentuk formasi tertentu.

Tulisan pada prasasti Batu Bedil sudah sangat aus sehingga sulit dibaca. Berdasarkan perbandingan hurufnya, prasasti Batu Bedil diperkirakan berasal dari akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10. Beberapa kata yang terbaca adalah Namo Bhagawate pada baris pertama dan Swâhâ pada baris kesepuluh. Menurut Soekmono berdasarkan kata-kata tersebut menunjukkan bahwa prasasti Batu Bedil berisi tentang mantra agama Buda atau Siwa (Soekmono, 1985: 49 – 50). Dengan demikian Prasasti Batu Bedil dan Prasasti Ulu Belu menunjukkan adanya persamaan yaitu berisi tentang mantra.

Lokasi ditemukannya Prasasti Batu Bedil berada pada lahan yang dibatasi dua sungai. Tinggalan arkeologis yang ditemukan di kawasan antara dua sungai tersebut terdiri tiga klaster. Klaster pertama adalah Batu Bedil I berupa sekumpulan menhir, batu datar, dan prasasti. Klaster kedua adalah Batu Bedil II dengan tinggalan berupa menhir, dolmen, batu bergores, dan lumpang batu. Batu Bedil I dan Batu Bedil II mungkin merupakan satu kesatuan. Aktivitas masyarakat sekarang mengakibatkan terpisahnya antara Batu Bedil I dan Batu Bedil II. Klaster ketiga adalah situs Batu Gajah. Di situs ini terdapat tinggalan berupa menhir, batu gajah, dan batu kerbau.
Antara isi prasasti Batu Bedil dengan tinggalan arkeologis yang lain terlihat ada kesesuaian yaitu menyangkut aspek religi. Menhir, batu gajah, dan batu kerbau menunjukkan tinggalan yang ada kaitannya dengan kepercayaan tradisi megalitik. Menhir ialah batu tegak yang sudah dikerjakan atau belum dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati arwah nenek moyang dan pengharapan kesejahteraan bagi yang masih hidup (Soejono, 1990: 213). Menhir dapat berdiri tunggal maupun berkelompok membentuk formasi tertentu.

9. Prasasti Dadak/Bataran Guru Tuha (abad ke 15)
Prasasti ditemukan di Dusun Dadak, Desa Tebing, Kecamatan Perwakilan Melintang, Lampung Timur pada tahun 1994. Prasasti ditulis dalam 14 baris tulisan, disamping terdapat pula tulisan-tulisan singkat dan gambar-gambar yang digoreskan memenuhi seluruh permukaan batunya yang berbentuk seperti balok berukuran 42 cm x 11 cm x 9 cm. Tulisan yang digunakan mirip dengan tulisan Jawa Kuno akhir dari abad ke 15 dengan Bahasa Melayu yang tidak terlalu Kuno (Bahasa Melayu Madya).