Sabtu, 23 Oktober 2010

BAHASA DAERAH DIAMBANG KEPUNAHAN



JAKARTA (Lampost/MI): Kemajuan teknologi dan mudahnya akses informasi menyebabkan banyak bahasa lokal atau bahasa daerah di Indonesia nyaris punah. Pasalnya, anak-anak tidak mau lagi menggunakan bahasa daerah.

"Bahasa daerah lebih banyak digunakan orang tua," kata Koordinator Intern Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Yeyen Maryani dalam penjelasannya tentang kegiatan Bulan Bahasa di Jakarta kemarin. Yeyen tidak bisa menyebutkan berapa banyak bahasa daerah yang punah atau nyaris punah. Namun, enam bahasa lokal di Maluku Utara dan Papua punah.

Kemunduran bahasa lokal itu juga terjadi di berbagai negara. Menurut dia, dalam 50 tahun terakhir, ada sekitar 100 bahasa lokal yang punah atau tidak ada lagi penuturnya. "Dari jumlah itu, 10% di antaranya ada di Indonesia."

Berkurangnya penggunaan bahasa lokal dibarengi makin banyak kotakasa bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia. Sekitar ada 2.000 kosakata bahasa asing atau bahasa lokal yang sudah masuk dalam ejaan bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa lokal yang paling banyak masuk dalam kosakata bahasa Indonesia cukup beragam, tidak lagi didominasi bahasa Jawa. Namun, Yeyen yakin jumlah kosakata asing yang masuk akan lebih banyak lagi di masa mendatang.

Sementara itu, Kunjana R. Rahadi, konsultan ahli bahasa media, berpendapat bahasa daerah saat ini tengah dalam kondisi mati segan hidup tak mau.

Ia mengakui saat ini sudah mulai banyak orang dengan penuh kesadaran bertutur dan melestarikan bahasa daerahnya. Namun, upaya itu tidak bisa mengubah kondisi bahasa daerah yang tengah mati suri. "Ibaratnya berteriak di padang pasir, tidak ada yang mendengarkan," kata Kunjana.

Menurut dia, kedudukan bahasa daerah sebagai penyangga bahasa Indonesia mulai tergusur perannya oleh bahasa asing. Hal itu disebabkan pengguna bahasa Indonesia lebih memilih menyerap kata-kata asing daripada bahasa daerahnya sendiri. "Dalam era otonomi daerah ini, daerah memiliki kesempatan untuk bisa mengembangkan bahasa daerah. Ini kesempatan yang cukup baik," ujar Kunjana. (R-1)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 21 Oktober 2010

Jumat, 22 Oktober 2010

BAHASA DAN AKSARA LAMPUNG DIKAJI LAGI


Bandarlampung, 18/10 (ANTARA) - Gubernur Lampung Sjachroedin ZP memerintahkan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Lampung untuk melakukan kajian khusus terhadap aksara dan bahasa Lampung.

"Bahasa dan aksara Lampung sebagai salah satu sarana kearifan lokal yang sudah sangat jarang penggunaan dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari di daerah kita sendiri, apabila tidak ada pengkajian ulang, dapat dipastikan kepunahannya tinggal menunggu waktu," kata gubernur disampaikan Asisten III Arinal Junaidi di Bandarlampung, Senin malam.

Dia menegaskan, Pemprov Lampung siap memfasilitasi dalam proses pengkajian tersebut, mengingat posisi aksara dan bahasa Lampung yang termasuk sebagai salah satu aset nasional.

"Hanya ada empat daerah di Indonesia yang memiliki potensi bahasa dan aksara khas sekaligus, salah satunya Lampung," kata Arinal.

Selain Lampung, tiga daerah yang memiliki potensi serupa adalah Sumatera Utara, Jawa, dan Sulawesi Selatan.

"Sayang apabila potensi bagus itu harus punah karena ketidakpopuleran," kata dia.

Arinal, yang berbicara atas nama Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, menyampaikan hal itu dalam sambutan pembukaan Malam Final Pemilihan Duta Bahasa Provinsi Lampung 2010.

Acara yang sudah memasuki tahun penyelenggaraan kelima tersebut merupakan prakarsa bersama antara Balai Bahasa Provinsi Lampung, Pusat Bahasa Jakarta, dan Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Lampung.

Jumlah peminat acara tersebut pada tahun ini melonjak tajam menjadi 150 peserta, yang terdiri atas 105 orang dari kalangan mahasiswa, dan sisanya dari pelajar.

Sementara itu, jumlah peserta kontes yang sama pada tahun sebelumnya tidak mencapai 100 orang.

Para peserta tersebut disaring melalui tiga tahapan, yaitu tahapan uji kemampuan berbahasa Indonesia, Inggris, dan Lampung, secara lisan maupun tertulis, uji pengetahuan umum dan budaya lampung, dan diakhiri dengan tahapan final sepuluh besar.

Kepala Kantor Balai Bahasa Provinsi Lampung, Muhammad Muis, menjelaskan acara tersebut dilaksanakan sebagai salah satu upaya untuk mengajak kaum muda dalam menjaga semangat sumpah pemuda.

"Duta bahasa yang dipilih akan membantu pemerintah dalam mengampanyekan penggunaan bahasa Indonesia yang benar, sehingga semangat untuk menjaga keindahan berbahasa dapat terus terjaga," kata dia.

Sumber: Antara, Senin, 18 Oktober 2010

Rabu, 13 Oktober 2010

NASKAH KUNO PERLU DITRANSKRIP DAN TRANSLITERASI

Republika, Rabu 27 Mei 2009

JAKARTA - Naskah-naskah kuno yang tersimpan di Perpustakaan Nasional (Perpusnas) harus segera diselamatkan melalui proses terjemahan (transkrip) dan transliterasi oleh para peneliti, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku.

"Agar anak-anak jaman sekarang mau membaca naskah kuno itu diperlukan terjemahan oleh peneliti dan pengkaji naskah," kata Wakil Ketua Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS), Rachmat Taufiq Hidayat, di Jakarta, Rabu (27/5).

Pasalnya, kata Rachmat, dalam acara bedah buku 'Hikayat Nakhoda Asik dan Hikayat Merpati Mas' di Aula Perpustakaan Nasional, naskah-naskah yang tersimpan di Perpusnas itu bertuliskan huruf Melayu, Arab kuno, Jawa kuno yang tidak dimengerti kaum muda saat ini.

Menurut dia, terjemahan naskah kuno melalui penerbitan buku sangat bermanfaat agar naskah aslinya yang terbuat dari daun lontar, kulit kayu atau kertas yang sudah berumur ratusan tahun itu tidak rusak.

"Jadi, mereka bisa mempelajarinya melalui buku yang telah diterbitkan," ujarnya seraya mengatakan Perpusnas bisa melakukan kerjasama dengan peneliti dan penerbit.

Ia menyebutkan, dalam kerangka warisan nenek moyang itu bukan hanya bentuk fisiknya saja yang harus dirawat dan dipelihara, melainkan kandungan isi naskahnya pun perlu dilestarikan kepada masyarakat.

Selama ini Perpusnas telah berupaya melakukan iventarisir dan katalogisasi naskah-naskah tersebut, namun upaya tersebut dinilainya belum cukup sehingga perlu dilakukan penyelamatan naskah-naskah itu.

Rachmat mengatakan, untuk menggairahkan program penyelamatan naskah-naskah kuno itu Perpusnas sudah selayaknya memberikan penghargaan kepada para peneliti dan pengkaji naskah yang telah merampungkan penelitiannya.

Salah satu bentuknya, bisa berupa pemberian honor yang pantas sesuai dengan jerih payah dan prestasi peneliti atau penelaah naskah, katanya.

Menurut Sekretaris Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jabar ini, bila isi materi yang terkandung dalam naskah merupakan karya sastra, maka untuk mempopulerkannya di tengah masyarakat harus direncanakan penerbitan karya adaptasinya.

Karya adaptasi adalah pengalihan bentuk dan pengolahan kembali sebuah karya sastra agar lebih sesuai dengan kalangan pembaca tertentu dalam memperhatikan unsur lingkungan pada budaya tersebut.

"Kadang-kadang karya adaptasi lebih hidup dibandingkan karya aslinya," tuturnya.
Ia mencontohkan, Prof Dr Ajatrohaedi pernah mengadaptasi naskah berbahasa 'Sunda Wawacan Ogoin Amarsakti' dalam bentuk cerita anak-anak dengan judul 'Ogin si Anak Sakti'.

"Alangkah baiknya bila naskah-naskah kuno yang ada diadaptasi dalam bentuk roman atau cerita anak-anak, sehingga menjadi menarik," demikian Rachmat Taufiq Hidayat./ant/itz
Red: Republika Newsroom

NASKAH KUNO ISLAM NUSANTARA TERANCAM DILELANG


JAKARTA--Perhatian pemerintah terhadap naskah kuno Islam dinilai masih kurang. Padahal sebenarnya, kata Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Oman Fathurrahman, pemanfaatan naskah-naskah kuno Islam sudah menunjukkan perkembangan yang positif.

Menurut dia, sudah banyak skripsi, disertasi, ataupun penelitian lepas yang memanfaatkan naskah-naskah kuno Islam sebagai sumbernya. "Namun, pemanfaatan itu memang belum maksimal, mengingat naskah-naskah kuno Islam jumlahnya mencapai ratusan ribu," katanya di Jakarta, Rabu (5/5).

Dengan kondisi seperti inilah, kata Oman, dirasakan perhatian pemerintah masih kurang terhadap warisan budaya nusantara, termasuk naskah Islam kuno. Bahkan, saat ini pemerintah bukannya menyimpan benda-benda warisan budaya melainkan malah melelangnya.

Oman khawatir pula suatu saat pemerintah juga bisa saja melelang naskah-naskah Islam kuno yang ada. Ia mengatakan, kurangnya perhatian pemerintah pada naskah-naskah kuno itu disebabkan fokus pemerintah hanya membangun perekonomian.

Pemerintah, jelas dia, tak begitu tertarik melestarikan kebudayaan. Mestinya, pemerintah melakukan sosialisasi dan advokasi tentang pentingnya naskah-naskah kuno tersebut sebagai warisan budaya. "Selama ini, pelestarian budaya di negara kita masih tertinggal jauh dibandingkan negara lainnya," ujar dia.

Secara terpisah, Kepala Bidang Bina Program Penelitian, Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Dasrizal, mengakui hal tersebut. Kementerian Agama, kata dia, baru mulai memberi perhatian terhadap keberadaan naskah kuno pada 2008.

Hal itu, menurut dia, terpicu oleh langkah negara tetangga, Malaysia, yang sejak 2007 sudah mulai mencari dan mengumpulkan naskah-naskah kuno Islam. "Bahkan, mereka membeli naskah-naskah kuno Islam itu dari Indonesia," ungkapnya.

Dasrizal mengatakan, Malaysia menempuh langkah itu karena sedang berupaya menjadi pusat Melayu Asia. Sejak itulah, jelas dia, Pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian untuk melestarikan naskah-naskah kuno Islam sebagai warisan budaya.
Red: irf (Republika)

NNASKAH KUNO ISLAM NUSANTARA, TERNYATA BEGITU BERSERAKAN

NASKAH KUNO ISLAM BEGITU BERSERAKAN


Hingga saat ini, Indonesia dikenal sebagai suatu negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Jumlahnya sekitar 90 persen dari total populasi yang berjumlah 230 juta jiwa. Agama Islam dianut oleh masyarakat Indonesia, mulai dari barat sampai timur dan dari utara sampai selatan. Dari wilayah Sabang di Aceh sampai Merauke di Papua, dari Pulau Miangas sampai Rote.

Menurut sejumlah data, agama Islam masuk ke wilayah nusantara ini sejak abad ke-13 dan ke-14 Masehi. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan berupa kuburan Fatimah Maimun di Gresik. Sumber lain menyebutkan, agama Islam telah masuk ke bumi nusantara ini sejak abad ke-7 Masehi. Hal ini diungkapkan oleh seorang peneliti Muslim asal Cina, Ibrahim Tien Ying Ma, dalam bukunya Muslim in Cina.

Penyebar agama Islam di Indonesia, jelas Ibrahim, dibawa oleh utusan dari sahabat Saad bin Abi Waqqash RA. Ditambahkan oleh Sumanto Al-Qurtuby, dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI, agama Islam masuk ke Indonesia tak hanya dibawa oleh pedagang Gujarat dan Arab, tapi juga oleh pedagang Cina. Oleh karena itu, ia menyebutkan, Islam masuk ke Indonesia ini melalui tiga jalur, yakni Arab, Gujarat, dan Cina.

Dengan penyebaran Islam yang gencar itu, tak heran bila Islam berkembang pesat di nusantara. Penyebaran berikutnya dilanjutkan oleh tokoh masyarakat, ulama, dan para mubaligh. Mereka inilah yang memiliki peran besar dalam menyebarkan dan mengembangkan Islam di Indonesia. Sebagian besar, nama-nama mereka telah melegenda.

Sebut saja nama Walisongo atau Sembilan Wali yang menyebarkan Islam di wilayah Jawa. Sedangkan di daerah lain, juga dikembangkan oleh tokoh ulama setempat. Para ulama yang ada di daerah, seperti Lombok, Mataram (NTB), Makasar (Sulawesi Selatan), Ternate (Maluku), Padang (Sumatra), Banjar (Kalimantan Selatan), menyebarkan Islam di wilayah setempat. Mereka mengajarkan agama Islam menurut bahasa dan adat istiadat setempat.

Pendekatan yang baik, membuat Islam begitu mudah diterima masyarakat. Tak hanya melalui ceramah dan pidato, para ulama daerah ini juga menyampaikan pesan-pesan Islam melalui karya-karyanya. Buku-buku itu ditulis dengan tangan di atas lembaran kertas yang ada saat itu. Misalnya, ada karya berjudul Hikayat Banjar, Sirah Nabawiyah, Fiqh al-Islam, dan lain sebagainya. Walaupun tak dikenal luas, peranan ulama daerah tersebut sangat penting bagi masyarakat.

"Ada ribuan karya ulama nusantara," kata Dasrizal MA, kepala Bidang Bina Program Penelitian, Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, kepada Republika. Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, karya-karya ulama daerah itu banyak terlupakan. Naskah-naskah yang mereka tulis hanya sebagian yang berhasil dibukukan. Sisanya, tak sempat disusun menjadi sebuah buku.

Karena minimnya perhatian terhadap karya-karya klasik ulama tersebut, sebagian besar hilang dan tak jelas rimbanya. Sebagian lagi, naskah mereka ada yang berada di luar negeri, seperti Belanda, Prancis, Inggris, Jerman, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Beberapa yang tersisa di Indonesia, tercecer ke mana-mana. Ada yang masih dimiliki ahli waris, ada yang terpendam, dan ada pula yang diperjualbelikan. "Yang baru berhasil diselamatkan hanya sekitar 600 naskah Islam klasik karya ulama nusantara," lanjut Dasrizal.

Karya-karya itu berisi tentang ilmu pengetahuan, ajaran, dan syair. Di antaranya berisi tentang ketuhanan, ajaran budi pekerti, sejarah, cerita rakyat (dongeng, legenda), teknologi tradisional, mantra, silsilah, jimat, syair, politik, pemerintahan, undang-undang, hukum adat, pengobatan tradisional, dan hikayat. Kini, naskah-naskah itu telah dijilid dengan baik dan didigitalisasi oleh Puslitbang Lektur Keagamaan, Balitbang Depag. Sebagian tersimpan di perpustakaan nasional dan beberapa ahli waris.

PERKEMBANGAN PENGGUNAAN AKSARA PEGON MELAYU

Perkembangan Penggunaan Aksara Pegon dan Melayu

Membedakan huruf Arab pegon dengan huruf Arab asli sangat mudah. M Irfan Shofwani dalam bukunya Mengenal Tulisan Arab Melayu menerangkan bahwa penulisan Arab pegon menggunakan semua aksara Arab Hijaiyah dilengkapi dengan konsonan abjad Indonesia yang ditulis dengan aksara Arab yang telah dimodifikasi.

Modifikasi huruf Arab ini dikenal sebagai huruf jati Arab Melayu yang berwujud aksara Arab serapan yang tak lazim. Misalnya, untuk konsonan ‘nga’, Arab pegon menggunakan huruf ‘ain’ atau ‘ghain’ dengan tiga titik di atasnya. Sedangkan, untuk konsonan ‘p’ diambil dari huruf ‘fa’ dengan tiga titik di atasnya dan sebagainya. Selain itu, huruf Arab pegon meniadakan syakal (tanda baca) layaknya huruf Arab gundul.

Namun, sumber lain menyebutkan, huruf Arab pegon hampir selalu dibubuhi tanda baca vokal. Ini berbeda dengan huruf Jawi yang ditulis gundul (tanpa tanda baca). Bahasa Jawa memang memiliki kosakata vokal yang lebih banyak daripada bahasa Melayu. Sehingga, vokal perlu ditulis untuk menghindari kerancuan.

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Syamsul Hadi menjelaskan, kata ‘pegon’ berasal dari bahasa Jawa ‘pego’ yang artinya tidak lazim dalam mengucapkan bahasa Jawa. Hal ini, menurutnya, disebabkan banyaknya kata Jawa yang ditulis dengan tulisan Arab dan menjadi aneh ketika diucapkan. Penje lasan itu diperkuat oleh Titik Pudji astuti dalam tulisan ‘Aksara pegon: Sarana Dakwah dan Sastra dalam Budaya Jawa’. Menurutnya, teks Jawa yang ditulis dengan aksara Arab disebut teks pegon yang artinya sesuatu yang berkesan menyimpang.

Lebih lanjut, ia mengatakan, penamaan ini mungkin disebabkan jumlah aksara yang diparalelkan dengan aksara Jawa lebih sedikit dari aksara Arab yang mejadi dasarnya. Ada pertanyaan yang muncul, mengapa dikatakan aneh, pego, dan menyimpang? Tentu saja karena bahasa Jawa lebih tepat jika ditulis dengan aksaranya sendiri, yakni aksara Jawa.

Menurut Prof Syamsul Hadi, hampir semua khazanah keagamaan Jawa, yakni sastra suluk, kitab kuning, terjemahan nadhoman, terjemahan jenggotan, ataupun jenis sastra berbentuk syi’iran, ditulis dengan Arab pegon. Namun, penulisan bahasa Jawa dengan huruf Arab pegon tidak terbatas saja pada khazanah naskah keagamaan. Tetapi, huruf Arab pegon juga dipakai untuk penulisan pada umumnya, terutama di kalangan pesantren.

Seperti halnya yang terjadi di tanah Melayu, penulisan bahasa Jawa dengan huruf pegon tidak terbatas pada khazanah naskah keagamaan, tetapi juga dipakai untuk penulisan pada umum nya, terutama di kalangan pesantren. Dalam tulisan pegon juga dikenal jenisjenis naskhi, riq’i, dan tsulutsi. Selain ketiga jenis tulisan itu, pegon mengenal dua macam variasi, yakni pegon berharakat dan pegon gondhul (tak berharakat).

Huruf Arab Melayu
Drs UU Hamidy MA, staf pengajar pada Universitas Riau, dalam tulisannya mengenai naskah Arab Melayu mengungkapkan bahwa para cendekiawan Riau sudah menggunakan huruf Arab Melayu untuk kegiatan penulisan mereka sejak abad ke-19, yaitu tahun 1800-an. Huruf Arab Melayu dipakai secara penuh, seperti dalam karya-karya Raja Ali Haji. Naskah-naskah yang mempergunakan huruf Arab Melayu dan angka-angka Arab orisinal antara lain adalah Kanun Kerajaan Riau Lingga, Bustan Al Kati -bin, serta Salasilah Melayu dan Bugis karya Raja Ali Haji. Begitu juga dengan Syair Abdul Muluk yang diperkirakan merupakan karya Raja Zaleha dan Raja Ali Haji, Bughyat al-Ani Fi Huruf Al Maani karya Raja Ali Kelana.

Naskah-naskah kuno Riau yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu memiliki halamanhalaman kitab atau naskah yang tidak lagi menggunakan angka Arab orisinal (seperti angka-angka untuk halaman Alquran), namun telah dimodifikasi menjadi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 0. Naskah-naskah tersebut antara lain adalah Babal Qawaid, Syair Sahimsah terjemahan Raja Haji Abdullah, Undang-Undang Polisi Kerajaan Riau-Lingga, dan Kisah Iblis Menghadap Nabi Muhammad karya Muhammad bin Haji Muhammad Said.

Menurut Hamidy, ciri atau tandatanda huruf Arab Melayu yang dipergunakan pada masa itu agak berbeda dengan huruf Arab Melayu yang dikenal sekarang. Dalam naskah Riau, sistem huruf Arab Melayu boleh dikatakan sebagian besar memberi tanda saksi untuk tiap bunyi vokal, seperti bunyi a, i, u, (alif, waw, dan ya). Sistem ini mempermudah cara membacanya dan kemungkinan salah baca menjadi lebih kecil.

Berbeda dengan sistem penulisan Arab Melayu sekarang yang hanya memberi saksi pada bunyi vokal pada suku kata kedua dan suku terakhir pada setiap kata. Oleh karena banyak bunyi vokal yang dihilangkan, sebuah kata bisa dibaca dalam beberapa kemung kinan bunyi vokal. Dalam sistem ini, bunyi (ucapan) kata harus diperhitungkan dalam konteks kalimat.

Sistem penulisan Arab Melayu seperti dalam naskah-naskah lama Riau terus digunakan oleh para pengguna bahasa Melayu di Semenanjung Malaka (sekarang bernama Malaysia), Singapura, dan Brunei Darussalam. Suku tertutup diberi tanda dengan alif, wau, dan ya sehingga naskah lebih mudah dibaca. Meskipun demikian, tambah Hamidy, beberapa pengarang Riau, seperti Haji Abdurrahman Siddiq dan Haji Abdurrahman Yakub, tetap mempergunakan huruf Arab Melayu dengan angka Arab tanpa perubahan bentuk sama sekali. Hanya Syair Hari Kiamat karya Tuan Guru Abdurrahman Siddiq yang memakai angka Arab model Latin pada nomor halaman kitabnya.

Syamsul Hadi, dalam makalahnya yang berjudul ‘Bahasa Arab dan Khazanah Sastra Keagamaan di Indo ne sia’ menerangkan, pada naskah tulis an tangan, biasanya terdapat perbedaan penggunaan jenis-jenis huruf Arab, yakni tulisan naskhi, riq’i, dan tsulutsi.

Jenis naskhi biasanya dipergunakan untuk tulisan pada umumnya. Tulisan riq’i digunakan untuk penulisan cepat. Adapun jenis tsulutsi yang indah dipergunakan untuk judul-judul naskah. Mes -kipun kaidah baru dengan penambahan tanda diakritik berkaitan dengan adanya perbedaan vokal ataupun konsonan pada bahasa Arab dan Melayu, jenis tulisan yang dipakai masih juga sama, tidak ada jenis tulisan baru model Melayu. dia/rid/sya/berbagai sumber


Disiplin Ilmu dalam Naskah Melayu

Disiplin ilmu yang ditulis para ulama Nusantara tidak terbatas pada pengetahuan agama, tetapi juga disiplin ilmu lainnya. Dr Kun Zachrun Istanti SU dalam ‘Teks Melayu: Warisan Intelek Masa Lampau Indonesia-Malaysia’ mengklasifikasi bidang-bidang pengetahuan yang ditulis dalam naskahnaskah Melayu kuno di antaranya adalah sejarah, sastra, ilmu tradisional, obat-obatan, dan perundangundangan.

Sejarah
Karya sastra sejarah Melayu ada berbagai macam, di antaranya Misa Melayu, Salasilah Melayu dan Bugis, Hikayat Patanu, Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Banjar, Silsilan Kutai, Tambo Minangkabau, dan Hikayat Merong Mahawangsa. Karya-karya ini kaya akan pengetahuan tentang pikiran dan keadaan susunan masyarakat Melayu pada zaman itu. Dalam Sejarah Melayu, tergambarkan adat raja-raja, pantang larang, dan hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang untuk rakyat. Dalam Sejarah Melayu, juga digambarkan adanya penaklukan oleh Malaka dan hubungan negeri Malaka dengan Majapahit, Siam, dan Cina.

Sastra kitab
Sastra kitab pada zaman kegemilangan Islam di Nusantara umumnya berisi ajaran agama Islam. Sastra kitab dapat menjadi rujukan mengenai Islam bagi orangorang Melayu. Karena, pada waktu itu, masyarakat Melayu masih sedikit yang memahami bahasa Arab. Kebanyakan sastra kitab ini merupakan terjemahan atau hasil transformasi karya-karya Arab. Bidang pengetahuan yang terdapat dalam sastra kitab adalah ilmu tauhid, fikih, hadis, dan tasawuf. Contoh sastra kitab adalah Shifa’ al-Qulubkarya Nuruddin Arraniri bertanggal 2 Ramadhan 1225 H (Senin, 1 Oktober 1810 M). Karya ini menerangkan pengertian kalimat syahadat dan kepercayaan kepada Allah.

Ilmu tradisional
Karya sastra Melayu juga berisi ilmu tradisional yang berupa pengajaran, pemahaman, dan amalan secara formal, misalnya ilmu bintang, ilmu ramal, tabir mimpi, dan firasat. Pembahasannya berkisar tentang kedudukan bintang dan pengaruhnya terhadap kejadian alam dan kehidupan manusia, kepercayaan terhadap kekuatan gaib dan benda-benda lain yang dihubungkan dengan penyakit dan amalan hidup, kepercayaan terha dap tabir mimpi, dan firasat. Kepercayaan-kepercayaan ini diamalkan oleh masyarakat Melayu masa lampau da lam kehidupan sehari-hari dan memengaruhi hidup mereka. Contoh karya sastra Melayu yang berisi ilmu tradisional adalah Tabir Mimpi. Isinya tentang tafsir mimpi dan fatwa orang Melayu masa lampau tentang alamat pergerakan bagian tubuh tertentu, waktu yang sesuai untuk bepergian, dan tanda apabila ada binatang masuk ke rumah atau kampung pada hari tertentu.

Obat-obatan
Selain disiplin ilmu di atas, karya Melayu juga ada yang membahas masalah obat-obatan Melayu tradisonal. Naskah seperti ini dikenal dengan nama Kitab Tib(obat, penyembuh), yang biasa digunakan sebagai panduan untuk mengobati berbagai penyakit. Bahan dasar obat-obatan itu berasal dari sumber daya alam, seperti flora dan fauna. Karya sastra dalam Kitab Tibtersebut antara lain tentang obat masuk angin, demam, pilek, sakit kepala, sakit perut, sakit gigi, dan sebagainya.

Kitab undang-undang
Kitab undang-undang dalam karya sastra Melayu ini berupa tata tertib dan adat istiadat Melayu yang diwariskan secara turun-temurun. Karena itu, tak heran bila ada daerah-daerah tertentu yang mengedapan hukum daerah (adat) dibandingkan hukum positif. Dan, bagi sekelompok masyarakat, bila sudah mematuhi (menjalankan) hukum adat, tak perlu lagi menjalani hukum lainnya. rid


Persebaran Naskah Melayu Dari Indonesia ke Afrika hingga Eropa

Masuknya Islam ke Nusantara menandai peralihan dari tradisi lisan menjadi tulisan. Namun, sampai dengan tahun 1500 M, tradisi penulisan dalam wujud teks belum dilakukan. Ide atau gagasan dan nilai-nilai masih disampaikan secara lisan. Beberapa karya sastra yang kental dengan corak kelisanannya adalah tekateki, peribahasa, pantun, dan mantra.

Setelah huruf Arab dikenal oleh masyarakat Melayu, barulah dimulai penulisan ilmu pengetahuan dengan huruf Arab, terutama Arab Jawi. Hal ini mengindikasikan bahwa huruf Jawi ini berperan besar dalam mengomunikasikan khazanah intelektual Muslim di Nusantara.

Naskah-naskah Melayu kuno menyebar ke berbagai kawasan di Nusantara, seperti di Aceh, Minangkabau, Riau, Siak, Bengkulu, Sambas, Kutai, Ternate, Ambon, Bima, Palembang, Banjarmasin, dan daerah-daerah yang kini masuk kawasan Malaysia dan Singapura. Naskah-naskah tersebut saat ini disimpan di lembaga-lembaga di dalam dan luar negeri. Di Indonesia, naskah-naskah itu disimpan di museum daerah, Perpustakaan Nasional, yayasan-yayasan, pesantren, masjid, dan keluarga-keluarga atau pemilik naskah.

Ketika itu, aktivitas penulisan berkembang sangat marak, karena didukung dengan hadirnya beberapa percetakan di sejumlah kawasan, seperti Rumah Cap Kerajaan di Lingga; Mathba’at al-Riauwiyah di Penyengat, dan Al-Ahmadiyah Press di Singapura. Munculnya ketiga percetakan itu memungkinkan karya para intelektual Muslim dapat dicetak dengan baik. Akhirnya, beberapa karya pun menyebar hingga ke berbagai daerah.

Hingga saat ini, belum dapat dipastikan berapa jumlah karya Melayu yang sudah dicetak. Apalagi, hampir setiap saat, karya itu semakin banyak ditemukan. Namun, ada beberapa penelitian yang mencoba mendatanya. Chambert-Loir (1980), ahli perpustakaan dari Prancis, memperkirakan ada sekitar 4.000 buah naskah berdasarkan berbagai katalogus dan jumlah ini tersebar di 28 negara.

Ismail Husain (1974) memperkirakan ada sekitar 5.000 naskah Melayu dan lebih kurang seperempatnya berada di Indonesia dan terbanyak berada di Jakarta. Sedangkan, Russel Jones memperkirakan jumlahnya sampai pada angka 10 ribu.

Adapun 28 negara tempat penyebaran naskah-naskah Melayu yang diutarakan Chambert-Loir (1999) adalah Afrika Selatan, Amerika, Austria, Australia, Belanda, Belgia, Brunei, Ceko-Slovakia, Denmark, Hongaria, India, Indonesia, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Malaysia, Mesir, Norwegia, Polandia, Prancis, Rusia, Singapura, Spanyol, Srilanka, Swedia, Swiss, dan Thailand.

Intelektual perempuan
Yang menarik di antara karya-karya tersebut terdapat sejumlah penulis dari kaum perempuan. Raja Safiah mengarang Syair Kumbang Menginderadan saudaranya Raja Kalsum menulis Syair Saudagar Bo doh. Kedua penulis perempuan itu adalah putri Raja Ali Haji, seorang intelektual Melayu tersohor yang kita kenal dengan karya besarnya Gurindam Dua Belas.

Pengarang perempuan yang juga sangat terkenal waktu itu adalah Aisyah Sulaiman. Cucu Raja Ali Haji itu menulis Syair khadamuddin, Syair Seligi Tajam Bertimbal, Syamsul Anwar, dan Hikayat Shariful Akhtar.

Selain nama-nama tersebut, masih terdapat beberapa nama intelektual perempuan yang memiliki kepedulian dalam pengembangan kesusastraan Melayu. Di antaranya adalah Salamah binti Ambar yang menulis dua buku dengan judul Nilam Permatadan Syair Nasihat untuk Penjagaan Anggota Tubuh. Ada pula Khadijah Terung yang menulis buku Perhimpunan Gunawan bagi Laki-laki dan Perempuan. rid/berbagai sumber
Red: Republika Newsroom